Hanya Karangan

28 4 0
                                    

"Paket!" teriak seseorang di depan rumahku, mendengar itu aku langsung berlari kecil membukakan pintu. Angin dari luar berhembus pelan, nampak seorang laki-laki yang sebelumnya pernah aku temui.

Aku tersenyum kecil melihatnya, entah kenapa setiap kali sorot mata itu melihatku, rasa bahagia muncul begitu saja.
Aku melangkah keluar, melihat dia yang mungkin tengah tersenyum dibalik penutup wajahnya.

"Mas, itu paket buat saya?"
"Iya, Mba." Dia menyerahkan kotak paket itu.

Aku menerimanya dengan senang, hati lantas kami berbincang mengenai harga. Ya, sistem pembayaran yang aku pilih COD, selain tidak mempunyai niat untuk membayar menggunakan rekening, keuntungan COD juga banyak. Salah satu keuntungan COD menurutku ialah, barang sampai ke tangan konsumen dengan selamat. Siapa tahu ada kejadian dimana barang tiba-tiba di cancel, rugi kalau sudah bayar duluan.

"Terima kasih, Mas," ujarku sambil tersenyum. Dia menganggukan kepala lantas pergi untuk mengirim paket-paket lagi, aku melihat paket yang dia bawa cukup banyak. Selama pandemi, keluar rumah memang tidak dianjurkan.

Tapi, aku ingin semua kembali normal lagi, setidaknya selama bepergian tidak perlu mengenakan masker yang membuatku pengap.

Kepergiannya meninggalkan rasa bahagia di hatiku, mungkin kali ini aku tengah tersenyum lebar.

"Aishhhh! Bodoh. Gak mungkin kamu sama dia, sudah cukup berhalunya!"

Aku merasa sadar sekarang, aku marah pada diriku sendiri. Kenapa harus menyukai orang yang tidak aku kenal? Mungkin dia tahu namaku, tapi dia tidak akan pernah berkata siapa namanya. Jujur saja, pertemuan pertama kami waktu lalu berkesan untukku. Matanya membuatku tertarik, selalu menarik aku ke dalam haluan yang panjang, meskipun aku tidak tahu seperti apa wajahnya.

"Put, pesen apa lagi?" tanya kakaku tiba-tiba, sontak aku mundur beberapa langkah.
"Ih, kepo!" jawabku kesal.
"Dia lagi ya? Kenapa kamu suka sama dia?"
Pertanyaan Kaka membuat aku menyipitkan mata,
"Apa salah mencintai seseorang yang misterius?" jawabku sedikit becanda.
"Engga salah, cuman lebih ke ... buang waktu percuma."

Aku menunduk mendengar kata-kata itu, benar apa kata kakaku. Selama dua bulan ini aku hanya bisa melihat dia melewati rumahku untuk mengantar paket, sesekali ke rumah kalau aku memesan sesuatu. Sampai kapan aku menunggu dia--dengan semangat di luar rumah, hanya melihat dia dari kejauhan. Pulang dan pergi tanpa tahu aku menunggunya di sini.

"Kita lihat, aku bisa ketemu dia lagi atau enggak. Kalo iya, aku bakalan kasih sesuatu buat dia," ucapku semangat, masih ingin berjuang, semoga saja bisa bertemu dia lagi. Kalaupun dari jauh, tidak apa, aku bahagia melihatnya.
"Kalo engga?" Kakaku menggoda lantas tersenyum licik.
"Aku akan menyerah, tidak ada lagi waktu minum kopi di luar," jawabku mengingat gelagat gila itu. Setiap sore sambil menunggunya, aku ditemani kopi panas di luar.

Keesokan harinya, di tempat yang sama dengan secangkir kopi di jam empat sore. Aku menunggu kurir itu datang lagi, harap-harap melihat dia. Seketika aku mengingat kembali kata-kata yang telah aku ucapkan kepada Kaka, bodohnya aku, mengapa harus mengatakan itu?

"Tidak ada, 'kan?" tanya Kaka saat kami makan malam.

Aku melihatnya dengan malas, namun apa yang dikatakannya benar. Dia tidak datang kemari, kurir lain yang mengirim paket pesananku.
Hari-hari berikutnya, tidak ada lagi kopi panas, tidak ada lagi dia dan sorot matanya, tidak ada lagi aku yang tersenyum saat melihat paket datang.

"Kamu pernah mencintai seseorang?" tanya temanku saat berkunjung ke rumah. Senyumku yang menyambutnya tiba-tiba pudar begitu saja. Selucu itukah aku? Kurir saja dibawa pusing.

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang