Donat

19 2 0
                                    

Cerita ini terjadi saat aku berumur 5 tahunan, mungkin sekitar tahun 2003.
Saat itu aku sedang bermain mobil-mobilan sendirian. Maklum, aku anak tunggal. Ibu tidak membolehkanku bermain di rumah teman, ia lebih suka aku tenang di rumah dan teman-temanku saja yang menghampiriku jika ingin bermain. Namun, mana ada anak yang mau repot-repot datang untuk bermain dengan anak penakut dan pendiam sepertiku? Bagi mereka jelas membosankan.

Disisihkan, dikucilkan dan diabaikan karena fisik dan ekonomi sudah menjadi hal biasa bagiku. Semua itu telah kuterima dan jalani sejak kecil. Aku tak menyalahkan siapapun. Karena meski banyak orang menganggap cantik fisik tidak menentukan segalanya, tetapi begitulah yang kualami, sebagai anak biasa dari keluarga biasa.

Maka pada hari itu, aku bermain sendirian di ruang depan rumah. Sesungguhnya rumah kami hanya terdiri dari tiga ruangan. Satu kamar, satu kamar mandi, dan satu lagi ruangan serbaguna (warung, dapur, ruang depan dan ruang makan bergabung jadi satu). Hanya warung saja yang diberi sekat dengan kawat.

Bosan bermain, aku tiba-tiba merasa lapar. Namun, tentu saja anak seumuranku tidak doyan makan nasi. Aku lebih tertarik dengan sesuatu yang manis, dan saat itu kutahu di warung kami ada donat kesukaanku. Dulu, harganya hanya lima ratus rupiah per buah, dengan ukuran sedang. Di atasnya ditaburi meses warna-warni, bagian paling aku sukai.

Lalu, aku teringat jatah jajanku bersisa lima ratus rupiah. Aku hanya diberi jajan seribu rupiah setiap harinya. Baru setelah naik ke kelas 3, ibu memberikan lebih lima ratus rupiah. Jadi, aku bilang pada ibu jika aku ingin jajan, beli donat. Ibu menagih uangnya dan memasukkannya ke kaleng uang. Sementara aku bergegas mengambil donatku, memilih yang paling besar dan paling banyak mesesnya.

Tidak sampai tiga menit donat itu tandas. Sayang sekali perutku masih lapar. Rasanya enak, tidak cukup hanya satu. Apalagi bagian favoritku adalah mesesnya, donatnya sih aku tidak suka-suka amat.

Setelah menimbang-nimbang, aku memberanikan diri meminta satu donat lagi pada ibu. Namun, ibuku itu tegas, mana mau menuruti keinginanku. Semua yang sudah ditetapkan tidak boleh dilanggar termasuk perihal uang jajan.

Aku merenggut, tapi hanya sebentar sebab takut melihat tatapan ibu yang tak suka aku membantah. Mudah saja baginya melayangkan cubitan ke lengan jika aku bertingkah. Bayangkan, satu cubitan saja cukup membuatku menangis berjam-jam. Bukan hanya sakit, ibu kalau sudah geram, suaranya saja bisa bikin hati pedih seketika. Maka dari itu aku segera diam.

Aku kembali ke mobil-mobilan ku. Hanya bertahan 5 menit, fokusku kembali tertuju pada kotak donat di meja depan. Ah, aku tidak bisa menahan godaannya.

Seketika aku teringat pada temanku, namanya Ayu. Aku pernah melihatnya membeli banyak mainan, ketika kutanya dia dapat uang dari mana, katanya itu uang ayahnya yang diambil diam-diam. Aku yang saat itu masih 5 tahunan, mana mengerti benar dan salah. Aku berpikir, mungkin aku juga bisa menggunakan cara itu untuk mendapatkan donat.

Kemudian, aku mencari keberadaan ibu yang ternyata sedang tertidur di meja dalam warung. Mungkin lelah mengurus rumah. Kebetulan tidak ada siapa-siapa di warung, aku pun mengendap-endap ke meja depan.

Aku melihat kotak donatnya, hanya satu yang kosong, tempat donat yang kubeli tadi. Lantas, aku berpikir jika kuambil satu donat, ibu pasti tahu. Sebab jumlahnya jelas hanya kurang satu. Jika ada yang membeli tentu ada uangnya di kaleng. Aku berpikir keras.

Akhirnya aku menemukan ide. Mungkin lebih baik aku ambil saja mesesnya tanpa memakan donatnya. Dengan begitu jumlahnya tidak akan berkurang. Lagi pula ‘kan hanya mesesnya saja. Maka diam-diam mulailah aku mengumpulkan meses dari semua donat itu. Yang tidak aku pikirkan adalah tentu ibu bisa menyadari ada yang berbeda dari donat-donatnya. Setelah puas, aku kembali bermain mobil-mobilan seolah tidak ada yang terjadi.

Anehnya, hingga malam tidak ada yang terjadi. Ibu dan ayah terlihat biasa saja. Makan malam berjalan normal. Hanya saja ibu tampak lebih dingin dari biasanya. Dan aku terlalu terburu-buru menyimpulkan semuanya baik-baik saja, kebohonganku berjalan lancar.

Keesokan harinya, ibu tiba-tiba membeli sekotak donat baru. Entah kemana perginya donat yang kemarin. Namun, tentu aku tak peduli akan hal itu.

Ibu memanggilku. Saat aku datang, ibu memberikan sekotak donat baru itu padaku dan menyuruhku memakannya, dengan catatan aku harus menghabiskan semuanya saat itu juga. Aku seketika kaget tapi senang. Sungguh? Ibu mengangguk dan tersenyum, yang tak kusadari itu adalah taktik.

Aku amat senang akhirnya bisa makan donat sepuasnya. Aku mulai memakan donat-donat itu. Dua buah donat habis dengan lancar, nikmat sekali. Dari sudut mata, tampak ibu memandangiku. Lanjut ke donat yang ketiga, keempat, kelima dan terhenti di donat keenam. Memang lezat, tapi anak kecil sepertiku tentu tidak mampu makan sebanyak itu. Enam buah saja sudah membuat perutku gembung, bagaimana aku menghabiskan sisanya?

Ibu menyadarinya dan menyuruhku kembali makan. Habiskan, tidak boleh bersisa. Atau nanti aku akan dimarahi. Mau tidak mau aku kembali memakannya, perlahan dan perlahan. Namun, hanya habis 3 donat, masih banyak yang tersisa.

Lagi-lagi ibu mengingatkan untuk menghabiskannya. Aku mulai panik. Bagaimana ini? Aku sudah tidak kuat lagi, bahkan untuk berdiri mengambil minum saja aku tak bisa. Jika diteruskan pasti aku akan muntah. Di mataku, donat-donat itu tidak lagi menggiurkan, justru menyeramkan.

Melihatku diam terlalu lama, akhirnya ibu mendekat. Ia kembali menyuruhku meneruskan makan. Dari nada suaranya ada yang berubah meski samar.  Entahlah, aku tidak bisa menebaknya, tapi yang jelas aku terdesak. Rasa takut menghampiriku lebih dulu. Aku tidak tahu harus bagaimana. Yang ada di pikiranku hanyalah ibu yang mencubitku dengan keras tanpa ampun, hingga tanpa sadar aku mulai menangis ketika mendengar suara ibu yang terus memaksa untuk menghabiskan donat yang tersisa.

Akhirnya, hari itu aku menangis hingga tertidur. Ibu tidak mencubitku. Hanya aku saja yang lebih dulu takut dengan ancamannya. Hingga akhirnya ayah pulang dan aku terbangun, mereka berdua menghampiriku. Ibu menceritakan semuanya pada ayah.

“Makanya, jangan berani-berani berbohong, mencuri. Kalau orangtua bilang cukup, berhenti. Jangan membantah, jangan bertingkah,” ujar Ibu dingin


Aku lekas memeluk ayah, takut.
Sejak hari itu, aku tidak lagi berani berbohong, terutama pada ibu. Tidak lagi berani meminta jajan lebih. Juga tidak pernah lagi membeli donat itu. Keburu trauma.

End

***


Bionarasi:
Keyvita Cornia, nama pena dari gadis kelahiran Padang, akhir tahun 90an. Membaca dan menulis adalah sepaket hobi yang digemarinya sejak kecil. Hingga saat ini, ia aktif menulis quotes di Instagramnya @keyvitacornia & @keyvitacornia_write. Ia juga pernah mempublikasikan beberapa cerita di akun Wattpadnya KeyvitaCornia

***

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang