Halcyon

31 14 16
                                    

Kata senja, tetap cinta, ya. Jangan mendua. Dia tidak suka. Wanita 25 tahun itu, yang sering berkeluh-kesah tentang kerasnya hidup dan kejamnya drama kehidupan. Mengeluh dengan menyatukan kaki pucatnya dengan ombak pantai yang pasang dengan tenang. Setiap sore di hari Minggu, Wanita bernama Siaja Senja itu menemui teman sejati, sang senja yang selalu menemani kala dia sendiri.

Wanita yang acap kali dipanggil Sia tersebut adalah seorang desainer muda dan kaya. Hidup bergelimpangan harta, tetapi apa daya, dia hanya sebatang kara.
Menikmati jerih payah yang dulu niatnya ingin dipersembahkan ke ibu dan ayahnya. Namun, mereka sudah tenang di alam sana, meninggalkan Sia sendiri. Menjadikan si putri mengasingkan diri, dan enggan untuk bersosialisasi.

Dalam makna terdalam kehidupan, ada pasang ada surut. Sama seperti ombak yang kini sedang membelai lembut kaki Sia. Hidungnya menghirup dalam udara dingin dengan rakus. Mencoba menghapus sebuah ingatan tentang luka dua hari lalu, diukir oleh seseorang yang dia percaya.
Sadewa Mingyu Anggaraka, si pembuat luka. Meninggalkan rasa yang sulit dimusnahkan, tetapi tetap menjadi seseorang yang menempati Tahta tertinggi dalam kehidupan Sia.
Menghembuskan napas lelah, Sia berjalan menjauhi bibir pantai. Menatap kakinya yang seakan tertarik ke lautan, tenggelam ditelan pasir cokelat nan menawan. Dengan sinar matahari yang siap tertidur pulas, Sia mendudukkan diri di ayunan. Menggerakkannya pelan, merasakan embusan angin.

'Kita udahan aja. Saya udah gak cinta'.

Ingatan Siaja mengenang. Ia tahu, ia bodoh. Tetap menyimpan rasa walau telah disakiti, tetapi Sia tahu, ia tidak sendiri.
Melamun panjang di tengah ayunan santai, Sia merasa hari sudah petang. Wanita itu siap pergi. Sebelum melangkahkan kaki, sebuah benda pipih menarik atensi Sia. Dia berjongkok, memungut kartu nama yang tertimbun di pasir. Dibacanya kartu nama itu, lalu mengernyit.

Sadewa Mingyu Anggaraka.

Kalau ada masalah, datang aja ke sini.

Di sini kamu bebas mengeluh tanpa ada yang menghiraukan.

Jangan pernah kamu sungkan untuk datang ke sini, karena jiwa saya telah menyatu dengan mereka. Mereka; jembatan emas yang selalu diciptakan senja, sedetik sebelum dilahap obsidian gelap nan dalam, seperti matamu.

Ingatan-ingatan itu kembali, membuat hatinya gelisah. Sia tahu betul seorang Mingyu, mereka adalah kesatuan 10 tahun bersama.

"Arwana."

Sebuah kata tanpa makna, mengalir di bibir Sia yang suka menyebutnya. Arwana, sebuah rasa cinta dari Sia untuk Mingyu Anggaraka.

"Jangan sok ngomel lu, anjir, bentar lagi mati!"

Ingatan itu menakutkan, Seungcheol Adirapati menyesal. Kalimat kutukan yang dia ucapkan benar-benar jahat. Tak menyangka bahwa ucapan itu menjadi sesal terakhir yang tak bisa ter maafkan.
Pria itu menangis, mengunci diri di kamar mandi. Membuat Jeonghan, teman sekamarnya emosi, dan tak tahan diri untuk mendobrak pintu.

"JANGAN NYIKSA DIRI, BANGSAT!"

"D-dia mati ... karena g-gua sum-pahin, Han." Bibirnya yang pucat lirih menggumam kata maaf. Tangan bergetar yang menunjukkan dia benar-benar merasa bersalah, membuat Jeonghan muak.
Gutari Jeonghan Laksana segera mengambil alih, menarik paksa teman sekamarnya yang menangis terisak. Menyeret tak peduli si pria, lalu mendudukkan dengan kasar di sofa ruang tamu.

"Ini bukan salah lu, Seungcheol," ucapnya penuh penekanan.

"Lu, gua, Jun, Hoshi, sama yang lain tahu alasan dia pergi, dan itu bukan gara-gara omongan kosong lu, tolol!" Jeonghan emosi. Pria berambut pirang itu menjambak rambut panjangnya, habis akal bagaimana cara membujuk sang sahabat.

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang