A N X I E T Y

14 2 0
                                    

Saat melihat ke belakang hanya ketakutan yang kudapatkan. Sedang di depan sana, ada kegelapan yang menunggu aku datang. Gelap, gelap, penuh lubang hitam. Apa sebaiknya tetap diam saja? Berdiam diri menerima segala yang akan terjadi rasanya jauh lebih baik.

Tapi ... rasanya sangat penasaran. Aku takut, tapi aku ingin tahu. Segalanya tampak penuh lubang gelap. Lubang-lubang kosong itu seakan menarik eksistensiku ke suatu ruangan tanpa dimensi yang berisi suara-suara asing yang memaksaku berhenti.

Bahkan, melodi Sonata No.14 3rd oleh Ludwig Van Beethoven pun terdengar semakin menipis. Menegangkan. Ini sangat menakutkan, untuk seorang yang punya krisis keyakinan diri semacam aku ini, hanya membayangkan berdiri di depan 45 orang saja rasanya bagai ditelanjangi.

Chill Seyna. Panggung itu nggak akan menelanmu.” Tepukan lembut terasa di bahu kiriku, tanpa menoleh aku tahu itu Rion.

“Mungkin enggak. Tapi, orang-orang itu bisa.” Aku menunjuk ke arah kursi penonton.

Para penonton itu tampak sangat bosan. Mungkin bagi sebagian orang, menyaksikan kompetisi piano yang memainkan lagu-lagu klasik dengan panggung proscenium dan tata lampu yang remang-remang ini terlihat seperti tayangan sebelum tidur. Saking bosannya, mereka terlihat bisa memakan apa pun. Termasuk aku. Apalagi ... ketika aku salah menekan tuts di atas sana.

“Terima kasih semuanya!” Si nomor 14 menunduk ke arah penonton. Tepuk tangan juga terdengar bersahutan. Oh, dia sudah selesai bermain ternyata. Sebentar lagi giliranku, mengingat 17 adalah nomor undianku kembali membuat GERD sialan ini kambuh lagi.

“Ssshh.” Aku menekan kuat-kuat dadaku yang terasa amat nyeri.

“Kau ingin ke toilet? Aku akan mengantarmu.” Tanpa menunggu jawabanku, Rion segera menarik tanganku ke arah belakang panggung. Menuju toilet peserta yang rasanya jauh sekali–padahal dekat.

Setelah sampai aku segera pergi ke wastafel. Mencuci mulut dengan air bersih berkali-kali, berharap rasa asam dan pahit yang memenuhi indera perasaku segera pergi.

Selalu saja. Setiap aku berusaha maju selangkah, penyakit sialan ini selalu memaksaku mundur dua langkah. Aku benci. Aku benci dengan jiwaku yang lemah, dan aku benci diriku yang tidak bisa apa-apa.

“B*ngsat!” Aku ... juga benci diriku yang cengeng. Padahal hanya hal sekecil ini, tapi aku sampai menangis seperti ini.

“Menyebalkan!” Aku memukul tiga kali kepalaku yang tidak berguna ini.

“Bod*h!” Aku menampar kedua pipiku dan berakhir menangis terisak-isak.

Padahal hanya perlu menekan tuts-tuts piano itu dengan tepat dan semuanya selesai. Tapi ... tapi hanya karena anxiety sialan ini semua itu terasa amat sulit. Rasanya seperti semua yang aku lakukan itu diawasi ribuan mata yang siap mencemoohku bila aku salah langkah sedikit saja.

Terkadang aku sangat iri dan juga kesal. Iri pada mereka yang normal, dan kesal pada mereka yang menjadikan mental illness sebagai candaan. Apa menurut mereka penyakit ini lucu? Apa menurut mereka penyakit ini sekeren itu?

“Mungkin aku emang nggak bisa.” Penyakit ini tidak selucu itu.

“Mundur pasti lebih baik.” Hanya berpikir positif pun sesusah itu.

“Terus lari dari masalah nggak akan membuatmu tenang, Sey.” Entah bagaimana caranya, Rion tiba-tiba saja berada di belakangku. Padahal ini toilet perempuan.

“Sebentar lagi giliranmu, coba saja, lakukan apa yang kamu bisa. Jangan lihat mereka, lihat saja aku yang selalu mendukungmu.” Rion menyentuh wajahku, mengusap bulir air yang terus menetes ke lantai.

“Nggak semudah itu!” Aku menepis kasar tangan Rion. Lalu menatapnya nyalang.

“Rasa ini ... rasanya benar-benar menyiksa kau tahu! Di sini!” Aku menunjuk dada kiriku. “Di sini seperti ingin meledak! Dan tenggorokanku rasanya hampir terbakar!”

Sulit untuk menjelaskannya, tapi rasa takut itu benar-benar melilitku erat. Semakin aku berontak, semakin kuat pula rasa itu mengikat.

“Memangnya kenapa?” Rion kembali mendekat, kali ini dia menggenggam tanganku erat.

“Memangnya kenapa kalau jantungmu mau meledak? Memangnya kenapa kalau tenggorokanmu terbakar? Nyatanya kamu masih hidup kan? Selama kamu hidup, kesempatan itu selalu ada untuk kamu. Kesempatan menang dan juga kesempatan untuk sembuh.” Rion menarik tanganku mendekat dan berakhir mendekap.

“Yang kamu butuhkan bukan kata-kata penyemangat. Tapi ... seseorang, kan? Kamu butuh seseorang yang bisa mendukungmu di saat ragu dan mendekapmu di saat jatuh.” Tangan besarnya membelai rambutku pelan. Menghantarkan perasaan tenang yang belum pernah aku rasakan.

Biasanya aku hanya menangis dalam diam, lalu setengah jam kemudian meminum obat tidur untuk melupakan rasa sesak itu. Tapi ... kenapa sekarang aku merasa tenang? Tanpa obat tidur? Dan tanpa sayatan.

Apa kah yang aku butuh kan itu memang seseorang?

“Nggak. Jangan percaya bahwa orang lain yang kamu butuhkan. Sejatinya, aku hanya perantara. Yang sebenarnya melakukan hal itu adalah Seyna.”

Benar. Yang sakit kan aku, yang takut juga aku, jadi ... kalau aku tenang dan bahagia juga karena aku kan? Itu berarti jika nanti aku menang juga untuk diriku.

“Makasii Iyon! Aku jadi yakin sekarang!”

Dengan percaya diri aku melepas dekapan Rion dan jalan ke panggung dengan yakin. Walau telat 3 menit dari waktu seharusnya, anehnya aku malah bahagia. Rasanya aku seperti orang gila saja, tersenyum lebar dengan sisa-sisa air mata bergelantungan.

Benar-benar luar biasa ya Rion itu. Sudah tampan, mapan, pintar bicara pula. Dengan kemampuan memotivasinya itu, aku rasa posisi Ketua OSIS sekaligus Ketua Kelas yang dia pegang sekarang memang sangat pantas dia dapatkan.

“Hidupku adalah milikku. Walau gerbang ketakutan mengejar di setiap kesempatan dan badai kegelapan menelanku dengan konstan. Tapi, di setiap hal itu selalu ada celah yang terselip. Meski sedikit dan hanya berupa samar-samar, tetap saja itu harapan. Entah apa hasil yang nanti kudapatkan, akan kubiarkan hatiku yang merasakan.”

***

Tentang Penulis:
Nana Aichi. Seorang gadis remaja biasa kelahiran 1 Agustus 2005 ini adalah penyuka banyak hal. Menonton, menulis, membaca, belajar, musik, bahasa dan psikologi adalah beberapa contoh hal yang ia sukai. Namun, terlepas dari sekian banyak hal yang dia sukai, juga terdapat segudang hal yang tidak ia sukai. Terutama hujan, karena lemah dan penyakitan setiap hujan datang hanya tiga hal yang selalu ia rasakan. Pertama adalah dingin yang sudah pasti dapat membuatnya flu dan jatuh sakit, kedua basah yang dapat membuatnya dingin dan jatuh sakit, ketiga takut– hanya saat ada petir. Untuk menulis, Nana merasa dia tidak akan berhenti di waktu dekat, karena menulis adalah bagaimana dia mengekspresikan diri sehingga menulis sudah menjadi bagian dari dirinya.

Sampai saat ini penulis hanya memiliki satu media sosial yang bertempat di Instagram, dengan username @aichi_putri. Dan untuk akun wattpadnya bernama @seynaxchan

***

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang