HOPE

24 4 1
                                    

Seekor kucing akan menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Fabel. Mengangkat cerita berbeda dari yang lain, dan tentunya bisa dibaca oleh berbagai kalangan. Mungkin bisa dibilang dongeng yang sepenuhnya tidak nyata, khayal ... Baiklah, untuk itu marilah kita memulai kisahnya dengan kalimat yang sangat akrab dibaca kala hendak memulai sebuah cerita ... "Pada suatu ketika,"

Seekor kucing oranye atau panggil saja Oren sedang berjalan-jalan mencari makanan sebagai pengganjal perut. Sudah terbiasa hidup susah, menjadi kucing jalanan memang terbilang cukup rumit. Selain harus berhadapan dengan sesama kucing, mereka juga harus kuat diperlakukan kasar oleh para manusia.

Jika ingin mendapatkan makanan enak secara cuma-cuma atau gratis tanpa membuang tenaga, maka Oren harus memiliki bulu sehat serta tubuh yang fit—tidak cacingan atau pun sakit. Manusia akan patuh, tunduk kepadanya apabila Oren memenuhi kriteria kucing idaman. Sayangnya Oren jauh dari kata idaman, mungkin lebih tepatnya ancaman sebab sifatnya yang temperamen. Pemarah.

Para kucing jalanan biasanya hidup sendiri, mementingkan diri sendiri, mencari kepuasan tersendiri. Lain halnya dengan Oren, dia memiliki keluarga walau tidak ada ikatan darah. Namanya Muezza, kucing kecil keturunan ras Munchkin yang Oren temukan di Got. Nasib malang menimpanya, membiarkan dia mengoceh—meminta bantuan. Tidak ada siapa pun yang mendengar kecuali si Oren pemilik hati nurani.

Tidak mudah menjadi seorang ayah, Muezza kelewat nakal sampai Oren kewalahan. Itulah mengapa saat ini Oren berjalan jauh dari rumahnya, demi mendapatkan Muezza karena dia hilang. Oren rela mengarungi sungai untuk mencari anaknya, meski sejatinya takut air.

Baru saja mendapatkan makanan dari tempat sampah, seekor kucing betina berwarna putih menghampiri Oren. Mereka saling mengendus, dan ternyata saling kenal. "Kenapa kau kemari? Tidak bosan dikejar para jantan?" kata si Putih. Terlihat seperti kucing terurus, padahal faktanya dia sendiri yang mengurus bulu-bulunya. Hanya saja manusia banyak mengincar membuatnya harus menghindar sebab tidak mau dikotori. Apik. Jika lapar maka dia akan mencuri makanan manusia.

"Kau juga, kenapa kau selalu datang kembali padahal manusia sudah tahu letak keberadaanmu?" Memutar balikan keadaan. Si Oren ini memang pandai dan licik, ditambah pesonanya yang tidak tertandingi—terlalu gagah—membuat kaum betina meleleh. Itulah penyebab dia menjadi buronan para jantan—mereka ingin menghabisinya.

"Oh, astaga kau membuatku terpana. Kau sangat memesona. Kenapa kita tidak kawin saja?" tawar si betina sambil mengibaskan ekornya ke wajah Oren.

"Aku harus mengurusi anakku," kata Oren sambil menyantap makan siangnya—bubur beraroma daging.

"Iwh. Kau akan terus membela anak buangan itu? Bahkan kau menemuinya dalam got. Apa kau gila?"

"Kami para kucing jalanan sudah terbiasa dengan kehidupan semacam itu. Lalat menjadi santapan utama, ya, walau rasanya tidak enak. Tapi kami sangat kuat, tidak seperti kucing yang suka memilih-milih makanan!" Oren membela kaumnya. Hanya saja dia tetap rendah hati, tidak seperti kucing oranye lainnya. Pada akhirnya betina itu pun pergi sambil berlagak sombong sekaligus berusaha menyita perhatian Oren agar mengejarnya.

Di kala perut sudah terisi, Oren pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mencari ke sana kemari dengan mengendus-endus. Ada kalanya dia kencing, sebagai tanda bahwa dia pernah melalui jalan itu. Nyaris saja menyerah, dia berhenti sejenak karena lelah. Menatap langit dengan penuh harap. Berharap Tuhan membantunya.

Saat hendak kembali berjalan, dia diterkam oleh seekor kucing jantan berbulu belang. "Akhirnya aku menangkapmu!" katanya sambil mengeluarkan cakar tepat di mata Oren. Kini posisinya berada di lorong karena si belang membuat tubuh Oren terpental ke sana.

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang