Welcome Home

12 3 1
                                    

Ada yang bilang rumah adalah tempat terbaik untuk berpulang. Namun bagiku, rumah adalah tempat di mana impian dikubur dalam dan dipaksa mengikuti aturan. Bukankah impian kita adalah milik diri kita sendiri.
Daun Itu namaku. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakakku keduanya berjenis kelamin perempuan. Kami bertiga adalah anak perempuan yang dipaksa setegar karang, melepas setiap impian untuk mengganti harapan ayah.
“Besok harusnya aku ikut lomba silat. Tapi, bagaimana minta izin ke ayah?” Kakak keduaku, namanya Ranting.  Dia bercita-cita menjadi atlet silat, namun ayah lebih berharap dia menjadi seorang perawat. Kak Ranting sengaja dimasukkan ke sekolah kejuruan khusus perawat tiga tahun lalu untuk memfokuskan pendidikannya. Tapi tetap saja hati kak Ranting telah jatuh pada silat, dia tetap melanjutkan latihan silatnya secara diam-diam.
“Kamu yakin mau minta izin ke ayah? Kakak pikir bakal sulit. Kakak nggak bisa bantu, jujur saja kakak sedang mempersiapkan mental untuk ujian praktek besok.” Kakak pertamaku, namanya Bunga. Dia adalah mahasiswi kedokteran, ini tahun ketiga perkuliahannya. Seperti kak Ranting, kak Bunga adalah korban harapan ayah. Kak Bunga tidak kuat menghadapi darah, dia lebih suka mendengar curhatan banyak orang. Kak Bunga dahulunya pernah mendaftar untuk menjadi mahasiswi psikologi.
“Sampai kapan kita akan mengikuti kehendak ayah?” Kedua kakakku menatap sendu kepadaku. Aku adalah yang paling keras menentang keinginan ayah. Bagiku ini adalah bentuk ketidakadilan, merampas impian kami seenaknya.
“Kak Ranting harus ikut perlombaan itu, untuk apa bersusah-susah latihan jika akhirnya mengalah di akhir,” ucapku. Malam minggu, inilah waktu bagi kami untuk saling berbagi keluh kesah.
Kak Bunga menutup pintu kamarnya, sudah pasti dia takut jika pembicaraan kami di dengar ayah.
“Bagaimana jika ayah marah? Lalu tidak mengizinkanku untuk latihan silat sekali pun.”
“Ayah harus mengerti apa yang kita inginkan. Ini semua hanya akan menyiksa kita, Kak.”
“Ran, kamu ikuti saja perlombaan silatnya. Nanti biar kakak yang bicarain baik-baik sama ayah.” Seperti biasa kak Bunga selalu sedia pasang badan untuk kami. Tak jarang ayah menyalahkan posisinya sebagai anak pertama yang tidak bisa tegas kepada adik-adiknya.
“Nanti kakak dimarahi ayah lagi bagaimana?” Kak Ranting agaknya merasa bersalah atas kejadian yang lalu-lalu. Kak Bunga hanya membalas dengan anggukan.
“Daun, buku kamu yang disita ayah sudah dikembalikan?” Aku yang sibuk membaca majalah kecantikan yang ada di meja kak Bunga sontak saja tersadar. Hingga kini bahkan aku tidak tau di mana ayah menyembunyikan buku antologi ku.
“Belum, Kak.” Terkadang aku bertingkah pasrah, ayah lebih keras kepala dari yang terbayangkan.

***

Kesepakatan kami berjalan lancar hari ini, kak Ranting mengikuti lomba silat dengan jaminan boleh dari ayah atas pertanggungjawabanku. Sedangkan kak Bunga, dia sudah menghilang sejak pagi untuk mempersiapkan ujiannya. Aku juga berhasil menemukan bukuku di laci ayah ketika membersihkan kamarnya.
“Tidak ada yang mau mendengarkan, Ayah. Kenapa kalian bertingkah seolah menjadi pembangkang seperti ini?” Sejak beberapa menit lalu ayah sibuk mengeluarkan semua kekesalannya hari ini. Ayah merasa tertipu. Kami nakal katanya.
“Bunga, jangan pikir Ayah tidak tau bahwa belakangan ini nilaimu menurun. Kamu sudah berjanji akan wisuda cepat dengan nilai terbaik, kan?” Kak Bunga hanya mengangguk merasa bersalah. Bukankah ini terlalu berat? Tantangan macam apa itu?
Ayah mengarahkan pandangannya ke arah kak Ranting. “Ayah sudah bilang, fokuslah pada belajarmu. Tapi apa, hari ini kamu malah memilih menghabiskan waktu dengan perlombaan silat. Kamu itu perempuan, Ranting!”
“Maafkan Ranting, Ayah.”
“Ayah, bukankah ini tidak adil. Kak Bunga menerima permintaan Ayah karena terpaksa padahal semua ini sangat terasa berat baginya. Kak Ranting, dia punya impiannya sendiri Ayah. Kenapa Ayah membunuh masa depan yang diimpikannya?” Aku mengeluarkan segala yang tertahan.
“Ini semua demi kebaikan kalian. Ayah telah memikirkan semuanya dari jauh-jauh hari. Percayalah ini masa depan terbaik untuk kalian.”
“Terbaik menurut Ayah bukan berarti terbaik untuk kami. Masa depan kami adalah impian kami.” Aku tak mau kalah dengan ayah. Banyak yang bilang, aku adalah ayah jilid dua, keras kepala dan tidak suka dibantah.
“Sudah, Daun. Jangan berdebat dengan Ayah.” Kak Bunga mengelus bahuku berusaha untuk menenangkan ku.
“Minta maaf kepada Ayah.” Kak Ranting berbisik kepadaku. Tapi tidak, aku tidak bersalah. Aku hanya ingin ayah sadar, itu saja.
“Ayah, masa depan kami adalah milik kami. Aku ingin menjadi seorang penulis, Ayah. Bukan seorang perawat. Kak Ranting juga begitu, dia ingin jadi atlet bukan perawat. Sadarlah Ayah bahkan kak Bunga yang telah menulis impiannya menjadi psikolog di buku hariannya.”
Mata Ayah berkaca-kaca. Aku tak tau karena apa. Entah aku atau hal lainnya. “Salahkah Ayah menggantungkan harap kepada kalian? Ayah tau ini semua salah. Ayah menggantungkan harap karena kekecewaan Ayah kepada dokter dan perawat yang menangani Bunda kalian kala itu. Ayah selalu berpikir, andai mereka lebih gesit, andai mereka lebih handal pasti Ayah tak akan kehilangan Bunda kalian dengan cepat.”
Jantungku seakan berhenti sejenak. Selama ini kami pikir ayah adalah yang paling tegar atas kehilangan ini, ayah adalah yang paling cuek atas kerinduan ini. Tetapi nyatanya ayah adalah yang paling terpuruk.

***

Sejak kejadian hari itu, hubungan kami melonggar. Ayah mendiamkan kami hingga kini. Bahkan ayah tak menghiraukanku ketika membahas antologi bersama teman-teman. Ayah tak lagi menegur kak Ranting yang seharian latihan silat. Kecewakah ayah kepada kami?
“Haruskah aku minta maaf kepada ayah?” Kak Ranting bersuara lemah. Sore telah menjelang tapi ayah belum juga pulang.
“Aku yang begitu keras membantah ayah, jika harus ada yang minta maaf maka orang itu adalah aku.” Jika ada yang harus disalahkan, orang itu juga aku.
“Kita sibuk memikirkan ketidakadilan yang menimpa kita hingga lupa bertanya apakah ayah baik-baik saja setelah kehilangan cintanya. Bukankah kita anak yang egois?” Kak Bunga adalah yang paling mengedepankan perasaan di antara kami. Dia bisa dengan mudah merasakan bagaimana rasanya di posisi seseorang.
“Aku akan minta maaf ketika ayah pulang nanti. Kakak-kakak hanya perlu mendukungku, akulah yang salah di sini.”
“Kita sama-sama salah, Daun.”
Malam harinya kami mendapat telepon dari orang kantor ayah bahwa ayah sedang ada pekerjaan mendadak di luar kota. Itu artinya kami harus menunggu untuk bicara.

***

Di hari kepulangan ayah kami justru berlari panik ke rumah sakit. Mobil yang ayah kendarai mengalami kecelakaan. Hanya satu yang terbersit dalam pikiranku, “Tuhan, tolong beri kami kesempatan.”
“Ini semua salahku, harusnya kita bisa tau apa yang ayah rasakan.” Saat-saat seperti ini kak Bunga selalu menyalahkan dirinya, menurutnya anak pertama adalah yang paling harus bertanggungjawab.
“Kak, semua ini salah kita bukan cuma kakak.” Ungkap kak Ranting.
Tapi aku tidak setuju. “Nggak. Semua ini bukan salah siapapun. Kita memang salah karena tidak tau apa yang ayah rasakan, tapi kita berhak menyuarakan impian kita kan, kak? Jadi apa salahnya.”
Beberapa jam berlalu, kata dokter ayah hanya mengalami luka ringan pada kepala, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi hingga kini kami masih menahan diri untuk masuk ke kamar rawat ayah. Kami masih berusaha menyiapkan diri. Meski akhirnya kami masuk juga ke dalam, karena ada perawat yang melakukan kunjungan.
“Kalian sudah makan?” Ayah membuka mulut terlebih dahulu, karena kami masih larut dalam pikiran masing-masing.
“Sudah ayah.” Entah angin dari mana, tetapi kebohongan itu sama-sama keluar dari mulut kami.
“Ayah, kami minta maaf.” Setelah bergulat dengan pikirannya kak Bunga memberanikan diri.
“Tidak, kalian tidak salah. Ayah yang salah.” Kami menggeleng bersamaan.
“Harusnya ayah tidak memaksa kalian, harusnya ayah bisa tau apa yang menjadi impian kalian. Mulai sekarang ayah ingin menjadi ayah terbaik untuk kalian. Impian kalian akan menjadi impian ayah mulai hari ini.” Ayah tersenyum lembut lalu membawa kami ke dalam pelukannya.
Ayah yang waktu itu membuat rumah menjadi tempat terburuk untuk mencurahkan mimpi kami telah berubah menjadi semangat baru kami. Rumah kami kini menjadi tempat mimpi kami dibuat, dikejar dan digapai.
Setahun kemudian kak Ranting memfokuskan latihan silatnya. Setelah kemenangannya pada lomba waktu itu ayah mendukung mimpinya bahkan memfasilitasinya.

Aku. Yah, aku bisa menulis dengan bebas, bahkan ayah sering kali membaca tulisanku dan bilang bahwa aku harus bisa sesukses penulis-penulis lainnya. Sangat bahagia, tentu saja. Semangat dari ayah termasuk impian terbesarku selama ini.
Sedangkan kak Bunga, dia meneruskan kuliah kedokterannya. Setelah mendengar alasan ayah, kak Bunga merasa ia juga memiliki ambisi yang sama seperti ayah. Bukan kami tidak mengikhlaskan kepergian bunda, tetapi kak Bunga berharap dari tangannya banyak kesembuhan yang Allah titipkan.

Rumah mungkin saja jadi tempat terburuk karena sebuah paksaan. Tapi orang tua tidak bisa disalahkan. Kita tidak tau apa yang mereka pikirkan. Jadilah sepertinya, maka kamu akan mengerti kepedihannya. Intinya, mungkin saja kami kurang komunikasi selama ini dengan ayah. Kupikir, jika kamu punya mimpi maka bicarakanlah baik-baik dengan orang tuamu. Dengar juga, keinginan dan impian mereka. Lalu, kamu bisa memilih masa depanmu tanpa harus menyakiti orang tuamu.

***

Bionarasi:
Sindi Rahmawati Putri atau yang biasanya dipanggil Sin adalah seorang gadis kelahiran 12 April tujuh belas tahun silam. Saat ini, ia menempuh pendidikan di salah satu Madrasah Aliyah di tempatnya. Menulis dan membaca adalah hobinya sejak beberapa tahun silam. Kenali lebih lanjut melalui aku Instagram @sindirahma_12 atau akun wattpad sin_azarine

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang