Soul of the Candle

129 41 147
                                    

Dia muntah kembali—setelah obsidian kental memerangi matanya, menyelimuti tubuh yang terlapis keringat. Jam berdenting, tidak peduli seberapa memekakkan dirinya. Sedangkan aku di sini, meratapi dirinya yang tidak lebih dari seonggok nyawa; tergeletak tak berdaya dalam sebuah kegelapan nan fana—tetapi bagaimana jika abadi jua? Seren, gadis bermata bulan itu memeluk lututnya—berperang dengan apa yang ada di dalam kepalanya. Mengenai sebuah paradigma; jiwa apa yang paling setia di dunia?

Seren berkawan dengan hitam, tidak peduli dengan apa yang ada di dalamnya. Pasti karena ada aku—sepertinya, karena setiap mati lampu, manusia akan kegirangan saat menemukanku. Mungkin, Tuhan yang mereka sembah sudah muak melihatku selalu pindah tangan—kata mereka yang tersungut sebal; bauku busuk, seperti darah yang tercampur organisme-organisme asing dari masa depan. Lemah, manusia memang lemah, bauku hanya sebatas aroma terapi, tetapi entah kenapa setiap hidung yang menangkap aromaku akan langsung memproduksi cairan-cairan tanpa warna itu—mereka keluarkan dari tempat yang mereka sebut mulut.

Tatkala kerlingan Seren meratapiku yang apinya terombang-ambing sang bayu, rasanya ... tubuhku yang memang sudah kaku akan pecah, menjadi kepingan-kepingan yang siap dilelehkan kembali untuk membentuk tubuh baru. Bola bijih berwarna kuning lembut itu membelaiku, seperti rembulan yang selalu menggantikan singgasanaku. Indah, seperti dari surga. Aku ingin menggerogoti matanya, terlihat sangat lezat, bola mata berwarna sedikit madu itu seakan terjilat manis. Seren kembali menatap kegelapan di sekelilingnya—tidak memedulikanku yang sejak tadi mencahayai dirinya.

Puluhan purnama aku bersamamu, Seren.

Apa aku bagimu?

Kau jatuh cinta dengan rentetan kegelapan yang berantai tanpa ujung, menciptakan dinding pembatas di antara kita. Jika aku manusia, ingin sekali kudekap tubuhmu yang serapuh sayap kupu-kupu, membiarkan mata yang penuh lelah dan mati itu beristirahat semaunya—hingga kau siap untuk kembali terbangun, dan menyadari bahwa aku hanyalah sebatas cahaya kecil yang bisa mati kapan saja, pergi, dan meninggalkanmu seiring jarum jam tidak lagi berpihak padamu. Aku ingin bersamamu, jiwaku yang kosong, aku ingin menjadi bagian dari dirimu. Bukan buih-buih lautan yang tak terhingga jumlahnya, tetapi dirimu, Seren, jiwaku meminta pada Tuhan untuk menjadi dirimu—jika tidak bisa, aku ingin menjadi matamu yang indah.

Kenapa kau senang mengintip ke luar jendela, padahal jarakmu jauh dari sana. Kau senang sekali menatap rasi para kartika, seakan kau ingin bersemayam di sana, selamanya. Apa cahayaku kurang terang bagimu, Seren? Apa kau mengharapkan cahaya yang membentuk jembatan perak di tengah lautan saat tengah malam?

Kenapa kau selalu menatap bintang itu—kenapa? Sama sekali tidak aku temukan mimpimu di antara kerlipan mereka nan nirmala.

Mereka selalu berkoar, Seren; gantungkan mimpimu setinggi langit. Namun, ketika kau tertidur, aku menatap langit malam berdua bersamamu yang lelap, tak kutemukan mimpimu di antara kemerlip gemintang. Sehingga aku bertanya—apa yang kau rasakan saat menutup mata?

Hingga Tuan Jam muak untuk mendetik waktu, kapan aku bisa mengetahui tentangmu? Tentang mata yang mati dari dalam itu, dan tubuhnya yang kurus rapuh berkawan dengan abu. Apa kau ingin terbang? Atau kau ingin terbakar? Aku ingin mengabulkannya, tetapi aku bukan Tuhan, Seren, dan aku hanya sebatas tonggak mini dengan tubuh putih yang meleleh setiap mikro-detik.

Kenapa kau tidak pernah berbicara? Padahal mereka yang selalu datang ke sini liurnya terdesis seperti kobra yang siap melahapmu kapan saja.

Kenapa sejak tadi kau tidak bergerak dari sana? Bermainlah, kau bisa meniup apiku, lalu menghidupkannya kembali, 'kan?

Seren masih saja menatap hitam yang menyelimuti malam. Tubuhnya masih saja bergetar, muntah-muntah ia karena bahagia bisa menyatu dengan alam—maksudku, fana yang tidak berujung takdirnya.

Bagaimana jika aku ikut berpikir bersamamu, mengenai paradigma itu—jiwa apa yang paling setia di dunia?

Lima detik yang lalu, kau menjawab bahwa alas kakimu jiwa yang paling setia di sini. Aku ikut berpikir, dengan perapian di atasku yang berlenggak-lenggok. Kupikir kau salah, cobalah berpikir lebih keras, Seren.

Seren, sepuluh detik yang lalu, kau menggumamkan kata; uang. Benar saja, uang selalu bersama manusia, 'kan? Mereka membuatmu dan kaummu yang lain bisa mendapatkan apa saja, dengan pengganti bahwa uang itulah yang harus pergi jauh, entah ke mana, tetapi mereka rela mati untukmu. Terkadang, mereka juga sering membuat tikus-tikus berdasi itu keluar dari besi-besi pembatas nan kokoh—mereka yang membuatmu menderita, pun orang-orang di luar sana. Sering kulihat senyum tanpa rasa bersalah itu muncul di teve soak di ujung kamarmu.

Sayang, sekitar satu menit yang lalu, kau berkata bahwa hujan yang selalu setia menemanimu—aku terlena sejak tadi. Hujan, mereka selalu datang, tetapi mereka membuatmu menangis, Seren. Aku tidak terima kau menyebut nama mereka yang busuk itu!

Seren ... Seren, ada apa?

Kenapa?

Sudah satu jam kau tidak lagi menyebut nama-nama mereka. Apa kau sudah lelah berpikir? Apa sekarang kau ingin aku yang memberi ide dengan berbicara—tetapi nanti kau pasti akan lari terkangkang-kangkang, 'kan? Huh, pengecut, tetapi aku menyayangimu. Kau diam untuk kesekian kalinya, membingungkan—semua wanita itu membingungkan.

Seren, tubuhmu semakin menggigil hebat. Kau menutup kedua telinga kuat-kuat, sembari menarik daun telinga yang hampir putus itu. Katamu, kau tidak kuat mendengar tetes air dari kamar mandi di sebelah. Itu memekakkan, ya, Seren? Kau berguling, sampai ke ujung ruangan kau membanting kepala hingga terbalur darah. Mata bulanmu mengeluarkan nanah, warnanya putih sedikit kuning, apa itu manis?

Setelah terisak, kau kembali duduk di depanku. Menatap bintang dari jendela yang tepat berada di depan kita. Sekali lagi, kau terlahap sunyi, dengki, dan rasa ingin mati. Sekali lagi, aku melihatmu—sisi gelapmu yang tidak pernah engkau perlihatkan pada dunia. Tidakkah itu menyakitkan?

Kau terlalu muda untuk merasakan sakit. Kau terlalu indah untuk rusak.

Rasanya, jika aku mati. Aku ingin memaksa Tuhan untuk mempertemukan kita kembali di atas langit, atau di kehidupan kita yang selanjutnya. Sebagai sepasang jiwa yang bergandengan bersama, berjalan menuju cakrawala, dan tidak pernah kembali selamanya.

Seren, menurutku. Lilin adalah jiwa yang paling setia. Betul, 'kan? Lihatlah aku dan perapianku yang selalu menerangi dan menghangatkan tubuhmu yang membeku. Kau kini terbaring, seakan tidak ingin mendengar paradigma milikku.

Seren, aku setia, karena aku adalah lilin.

Apiku selalu bersamamu yang kembali muntah-muntah, mungkin karena bahagia setelah mengetahui bahwa aku adalah yang paling setia.

Seren, kau kembali kesakitan. Kini meraba-raba lantai—merangkak menuju jendela. Kau buka dirinya yang dilapisi debu, menatap kota di bawah dengan kerlingan netra rembulanmu. Walau aku tidak bisa melihatnya, tetapi aku yakin apa yang kau lihat itu seperti surga—refleksi di matamu menjawab segala pertanyaanku.

Seketika, kau memanjat jendela yang seukuran tubuhmu itu. Berdiri di atas pembatasnya. Angin semilir kemudian masuk, aku hampir padam.

Seren, apa yang kau lakukan di sana?

Kenapa kau tidak mendengar paradigmaku?

Kau kemudian menapak pada angin, tidak lagi menjadi sedikit penghalang mereka untuk masuk ke kamarku lalu memadamkan apiku.

Kau menghilang dari jendela.

“Maaf. Aku menyerah”

Kita lebih memilih padam.

***

Tentang penulis dan catatan:
Saya Daves Louis, dengan nama pena æternitasa. Seorang penulis muda yang beberapa tahun ini mendalami ilmu Sastra Indonesia. Cerita yang saya bawakan tersebut berlandaskan surealisme—yang pastinya, bisa dimengerti jika kalian membaca lebih dalam.

***

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang