Semesta dan Lukanya

41 5 3
                                    

Pekikan dari beberapa orang di lapangan utama ini terdengar ketika anggota ekstrakurikuler futsal baru saja membubarkan diri. Aku tersenyum ketika mendapati sosok Altair Wijaya berjalan mendekatiku.

"Minum dulu." Kusodorkan sebotol air mineral yang masih tersegel rapi.

Altair tidak tersenyum ketika dia mengambil benda dari tanganku. Wajah mulusnya tampak berkeringat. Pahatan alis tebal beraturan yang mendampingi bulu mata lentik itu sedikit bertaut ketika pantulan cahaya mentari jatuh tepat di wajahnya.

"Al, kamu bisa antar aku pulang hari ini?"

Bunyi nyaring dari remasan botol plastik adalah jawaban atas pertanyaanku. Altair melemparkan asal benda di tangannya. Dia tidak peduli dengan peringatan untuk membuang sampai pada tempatnya.

Altair membungkuk guna mengambil tas hitam yang tersimpan di sampingku, kemudian menyampirkan salah satu talinya di bahu kiri. "Pulang sendiri, saya bukan tukang ojek kamu."

Aku hanya dapat mengembuskan napas pasrah ketika sosok tinggi laki-laki itu perlahan menjauh. Aku sudah tidak asing lagi.

Aku tahu bahwa alasan kami selalu bersama karena ibu dan ayahku adalah teman dekat orang tua Altair. Mereka menyuruh laki-laki itu untuk menjagaku. Aku memang bodoh karena jatuh cinta padanya, padahal sudah jelas bahwa Altair sudah memiliki kekasih.

Aku mengambil tasku juga, lalu bangkit. Remasan botol yang Altair lemparkan ternyata kini tepat berada di bawah sepatu abuku. Aku bergegas melemparkannya menuju tempat sampah terdekat. Ketika akan melangkah kembali, kulihat Altair sedang menggenggam jemari seseorang. Dia Vania, kekasihnya. Hatiku kini semakin tidak baik-baik saja. Rasaku memang mustahil tersampaikan. Namun, apakah aku salah jika berharap semesta mau mengubah segalanya?

Sore itu, aku pulang dengan rasa kecewa. Sebilah pisau tak kasatmata menusuk hatiku ketika motor yang Altair kendarai melaju melewatiku yang baru saja memasuki kawasan parkiran. "Altair, maaf kalau aku salah."

Satu bulan lalu sore penuh kecewa itu terjadi, tetapi rasanya masih membekas hingga sekarang. Aku memang duduk di sebelah Altair yang sedang mengemudikan mobilnya. Namun, tidak ada kata yang saling kami bagi. Dia fokus pada jalanan di depannya, sedangkan aku sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki itu.

Jaket denim hitam membalut kemeja putih Altair. Di pergelangan tangan kirinya juga terpasang sebuah jam tangan berwarna senada. Aku selalu suka bagaimana cara dia berpakaian. Altair tidak menyukai warna yang mencolok, tetapi aku tidak pernah kecewa dengan benda yang melengkapi tubuh tinggi tegap dengan kulit nyaris pucat itu.

"Al," panggilku pelan, nyaris tidak terdengar.

Hanya gumaman yang Altair berikan sebagai jawaban. Tanganku saling bertautan. Tas di pangkuanku yang terbuka resletingnya bahkan tidak aku pedulikan sekarang. Masa bodoh dengan isinya yang bisa saja terjatuh di dalam mobil ini.

"Aku...." Perkataanku kembali tertelan.

Altair menghentikan laju mobil ketika gerbang sekolah kami masih berjarak beberapa meter lagi. "Turun!" titahnya.

Aku mendongak guna menatap rahang tegas seseorang yang duduk di sampingku ini. "Kenapa?"

Altair memandangku hingga pandang kami saling beradu. "Silakan turun."

"Tapi—"

"Kamu siapa sampai berharap saya akan sebaik itu?" Penuturan Altair membuat hatiku berdenyut lagi, terlebih kata yang selanjutnya keluar dari bibir tipis laki-laki berambut rapi tersebut.

"Kanaya, kita terlibat hanya karena paksaan dari orang tua kita. Jadi, jangan terlalu berharap lebih dari kedekatan ini."

Mati-matian aku menahan genangan di pelupuk mata. Aku mengalihkan pandangan sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. Pandangan mataku tidak kuasa lagi harus kembali bertemu dengan iris tajam milik Altair. Tanganku gemetaran ketika mengambil tas dan membawanya keluar. Segera kubuka pintu ketika sebulir air mata dengan lancang menyentuh pipi ini.

Event Cerpen Tema BebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang