17

30 1 0
                                    


Sore hari, sehabis jam perkuliahan terakhir, Reina langsung ke pelataran parkir fakultas untuk segera pulang, berusaha menghindari Arta dan Amanda. Selepas dari fakultas teknik tadi pagi, Reina sengaja tidak menunjukkan batang hidungnya di hadapan kedua temannya, meski mereka satu ruangan tapi dia berusaha tidak memperlihatkan dirinya, perkuliahan kelar dia langsung cabut. Pastinya, rasa penasaran sudah bercokol di pikiran kedua temannya, terutama Arta―bakal banyak pertanyaan membombardir dirinya; apa yang terjadi di sana, apa yang dilakukannya, dan bagaimana.

Reina berjalan dengan tenang menuju mobilnya. Namun, entah kenapa tiba-tiba otak kanannya merasakan sesuatu yang mencurigakan. Bisa jadi perasaanku saja, pikirnya, dan lekas ditepisnya. Sebelum masuk ke dalam mobilnya, dia menanggalkan topi yang menutupi sebagian rambutnya.

Meski wasangka itu belum sepenuhnya sirna dari pikirannya, tanpa memedulikan lagi, Reina segera melajukan sedan putihnya. Namun, kurang lebih dua puluh lima meter dari gerbang kampus mendadak mobilnya bermasalah, dia keluar tanpa mengenakan topi bucketnya untuk memeriksa apa yang telah terjadi dengan mobilnya.

"Sialan....!" bentaknya sembari menendang ban mobil itu. Jelas saja ban belakang kempis, kok bisa? Padahal tadi aman-aman saja, kenapa mendadak jadi begini, berarti prasangkanya tadi benar, ada yang aneh. Sepertinya ini barusan diutak-atik, pikirannya diajak bermain menduga sesuatu dengan membaca situasi yang sedang dihadapinya saat ini.

***

"Hai cantik, mogok ya?" suara itu berasal dari seorang pria yang keluar dari sedan hitam, yang menepikan mobilnya tak jauh dari mobil Reina, lalu melangkah mantap sendirian. "Ternyata kamu lebih cantik tanpa menggunakan topi."

Reina terperanjat sejenak menyaksikan Marcel mendekatinya, dan dia tak peduli penilaian pria itu cantik atau tidaknya dia mengenakan topi. Saat ini, sepertinya bukan ban mobilnya saja dikempiskan, malahan sebentar lagi dirinya akan turut dicelakakan.

Pikiran Reina terus bekerja bahkan berasumsi bahwa kemungkinan besar pria yang di hadapannya ini yang telah mengempiskan mobilnya, tapi bagaimana dia tahu sedan putih ini mobilnya, entahlah. Marcel memperlihatkan senyum manis yang dibuat-dibuat, Reina tahu itu.

"Aku bantuin ya, sayang?" tanya Marcel pura-pura peduli, namun Reina hanya diam dan terus berhati-hati.

"Kenapa diam sayang."

"Sayang.....sayang.....makan tuh sayang."

"Kenapa kamu jadi marah," Marcel memperlembut suaranya dan terus mempermainkannya, demi membalas rasa malu didapatinya tadi pagi. Ternyata, gadis ini galak juga sesuai dengan penampilannya yang asal, menyerupai laki-laki, pikir Marcel. "Bagaimana sayang makan malam kita nanti, jadi. Maunya di mana, biar aku pesan tempat."

"Diam!" bentak Reina, "jangan panggil aku sayang."

"Kok begitu, tidak adil dong. Tadi pagi kamu panggil aku 'sayang'. Aku harus memanggilmu apa, 'beib, sweety, honey, darling atau cintaku' yang mana."

"Permainanmu nggak lucu," marah Reina.

"Terus, lucu yang mana tadi pagi atau sekarang," sindir Marcel.

"Maumu apa?" geram Reina, tak peduli dengan rasa malu yang ditanggung pria itu tadi pagi, wajar dia mendapatkannya karena perlakuan buruknya terhadap Arta dan Amanda. Tapi, kini atas dasar apa dia mempermainkan Reina, balas dendam.

"Bantuin kamu sayang," senang Marcel, dalam hati berkata 'rasakan'. "Apanya yang rusak, perlu aku telepon montir menyuruhnya ke sini."

"Nggak perlu."

"Terus bagaimana dong, makan malam dan kencan kita, atau begini saja aku telepon montir buat menderek mobilmu ke bengkel, sementara kita berdua pergi ke tempat yang kamu mau. Tapi, sebelum kencan lebih baik ke mal dulu buat mengubah penampilanmu yang kayak cowok. Aku inginnya kencan sama cewek cantik, bukan cewek menyerupai cowok," goda dan sindir Marcel, bukan perkataan dan pikirannya saja yang mulai liar, tapi juga tangannya. Dia meraih tangan Reina.

Sepasang Topeng VenesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang