Terdengar kembali suara pengeras yang memberitahukan dalam dua bahasa, bahwa pesawat ke Jakarta akan segera berangkat, dan seluruh calon penumpang diharap agar bersiap-siap. Reina bersama kedua sahabatnya mulai kasak-kusuk membawa barang bawaannya, mereka sudah berjalan di lorong keberangkatan. Namun, tiba-tiba Reina merasakan sesuatu yang hilang darinya.
"Arta, tolong tunggu di sini sebentar." Pinta Reina sambil memberhentikan temannya.
"Ada apa lagi, Rein?"
"Topeng yang aku dapatkan beberapa hari yang lalu, ketinggalan di bangku yang kududuki tadi!"
"Ya sudah, cepatan ke sana...!"
Reina tampak cemas, jangan-jangan topeng itu tidak ada lagi di sana. Lagian tadi, kenapa harus dikeluarkan dari dalam tas ransel, begini jadinya. Udara di sekitarnya seolah merasakan keresahannya, yang tampak melumpuhkan rasa tenangnya di antara kicauan para penumpang yang bergegas menuju badan pesawat.
Tuhan! Tolong selamatkan topeng itu, jangan sampai beralih ke tangan orang lain karena benda itu sama halnya dengan nyawaku sendiri, aku tidak bisa lepas darinya, bisik Reina dalam hati. Baru beberapa hari mendapatkannya dengan cara yang aneh, tapi seakan-akan sudah memilikinya bertahun-tahun lamanya. Dan, ketika bertatapan dengan seorang pria muda yang sedang berdiri di dekat bangku didudukinya tadi, Reina melihat topeng Venesia-nya berada di tangan pria itu. Dia bingung harus berkata apa, agar dirinya tidak susah meminta kembali apa yang dimilikinya. Dari wajah, mungkin pria itu orang Italia, bukan orang Asia. Reina harus menggunakan bahasa yang dipahaminya.
"Please return the mask, i'm the owner." Ketika suara terlahir dari mulut Reina meminta topengnya untuk dikembalikan, rasanya otak pria di hadapannya bekerja seperti memikirkan dan menyimpan sesuatu.
"Ini punyamu?" tanya pria itu sembari menunjukkan benda yang dimaksud sambil tersenyum. "Kamu nggak perlu susah payah ngomong pakai bahasa asing denganku, kita berasal dari negara yang sama."
Ternyata, pria muda yang sedang memegangi topengnya berasal dari Indonesia. Syukurlah ucap Reina dalam hati. Tapi, kenapa dia tahu kalau aku berasal dari Indonesia, bingung Reina. Ah sudahlah, bukan saatnya membahas sesuatu yang sama sekali tidak memiliki unsur 'penting', dan lagian waktu tidak memberikan sedikit ruang baginya untuk membicarakan hal lain, tugas utamanya hanya meminta topeng itu agar dikembalikan.
"Iya, topeng itu milikku. Aku akan terasa piatu dan gelandangan tanpa dia," jawab Reina berlebihan dan sopan.
"Bagus juga kata-katamu. Tapi, maaf ini hanya sebuah topeng atau benda mati, kenapa harus berkata sejauh itu, seolah menganggapnya sama seperti kita memiliki nyawa." Mungkin orang lain jika mendengar ucapan Reina, menganggap otaknya sedikit bermasalah. Tapi tidak bagi pria ini, dia suka pengolahan kata-kata yang terangkai dari mulut gadis di hadapannya, ada makna dan rahasia terdalam di balik susunan kata itu.
"Terserah kamu mau menyebutku seperti apa nantinya, tapi setidaknya kembalikan topeng itu." Dengan perasaan payah dan sadar diri dengan perkataannya, seolah dapat membaca pikiran pria yang masih memegangi topengnya. Reina berusaha menghadapi situasi yang betul-betul tajam buatnya lantaran pengaruh dari kekuatan topeng, yang awalnya dianggap aneh, kini ketika benda itu menghilang darinya, dia benar-benar merasa kehilangan. Seakan topeng, benar-benar bekerja sesuai fungsi yang sengaja diatur seseorang untuknya─sebagai kompas cintanya yang masih dalam proses pencarian.
Meski pria itu belum paham dan masih penasaran dengan kata 'piatu dan gelandangan' yang disematkan Reina dalam ucapannya, dia tidak akan menuntut jawaban dan menahan barang milik orang lain demi mendapatkan penjelasan maksud dari perkataan gadis yang mengenakan topi bucket di hadapannya, sebab sebentar lagi pesawat yang ditumpanginya dan gadis itu akan berangkat.
***
Setelah mendapatkan topengnya, Reina masih bisa mengejar dan kembali bergabung dengan kedua temannya melewati ruang keberangkatan bersama penumpang lainnya, berdesak-desakan sambil asyik bicara tanpa memedulikan sekeliling mereka, kecuali Reina. Dia mendadak berjalan lebih cepat sembari menarik koper mini dari tangannya Amanda, malas melihat sikap sahabatnya ini yang masih saja sempat menyuapi Arta dengan gosipnya di saat menuju badan pesawat.
"Rein, tungguin kita dong!" sorak Arta sedikit keluar dari sifat aslinya, dan merasa menyesal karena tak menunggu Reina mengambil topengnya yang ketinggalan di ruang tunggu penumpang. Ini gara-gara Amanda yang memaksanya terus berjalan tanpa mengindahkan perintah Reina.
Arta pun bergegas mengikuti langkah Reina. Sementara Amanda begitu susah memacu kecepatannya, sepatu hak tinggi memagari kedua kakinya membuatnya benar-benar susah mempercepat langkahnya dan menyeimbangkan langkah kedua temannya.
"Rein, kembalikan kotak kosmetikku...!" pekik Amanda. Namun Reina tidak menghiraukannya. Dia terus berjalan cepat sampai ke tangga pesawat, dan disusul kedua sahabatnya yang ngos-ngosan mengikutinya.
***
Setibanya dalam badan pesawat, lega, begitulah yang dirasakan ketiga gadis itu tatkala berada di dalamnya setelah beberapa jam menunggu di ruang tunggu penumpang, dan yang paling merasakannya Amanda telah berjuang menghadapi situasi yang menurutnya tidak mengerti bahkan memahami dirinya.
Beberapa menit berlalu, terdengar suara pilot memberitahukan bahwa pesawat akan segera take off, diikuti perintah agar mengenakan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Reina dan kedua temannya sedari tadi sudah siap menuruti perintah yang dianjurkan sang pilot. Dan jam enam sore lebih sedikit, akhirnya pesawat mulai take off dan terbang tinggi.
Terima kasih sudah mampir ke Bab 4 Sepasang Topeng Venesia
Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"
Selamat membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Topeng Venesia
General FictionSetiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berkesan, begitulah yang dirasakan seorang gadis muda setelah pulang dari liburannya di Venesia. Meski dia hanya memiliki sebuah topeng karnaval...