Keesokan harinya..............................
Hari masih pagi dengan cuaca cerah yang segar sudah menyelimuti kota Metropolitan. Jam pun baru menunjukkan pukul delapan pagi. Dewi selaku asisten rumah tangga mulai mengerjakan tugasnya, salah satunya mengetuk pintu kamar Reina.
"Non Reina, sarapan dulu," teriak pelan bibi dari luar kamar putri majikannya. "Bapak dan Ibu sudah di ruang makan, non."
"Sebentar lagi, Bi!" balas gadis itu sambil menguap, ternyata dia baru bangun tapi masih memanjakan tubuhnya di atas tempat tidur.
Suara aneh mendadak muncul dalam kamar gadis itu, Reina menyelidiki asal suara. Suara itu tidak jauh darinya, malah terdengar dari salah satu anggota tubuhnya, dan ternyata suara tersebut berasal dari perutnya yang memohon penuh harap untuk dimasukkan energi ke dalamnya. Reina segera mengangkat tubuhnya yang tampak manja terbaring di atas tempat tidur dan berusaha dijinakkan, satu persatu rangkaian tubuhnya bergerak membimbingnya agar bangkit dan melangkah.
Tanpa adanya sentuhan air mendarat ke wajah atau mengatur posisi susunan rambut yang acak-acakan, Reina melangkah dengan tubuh memelas keluar dari kamarnya. Dia selalu begitu, tak ingin memaksakan diri berpenampilan rapi ketika berada di meja makan di waktu sarapan, tak peduli dan santai dengan tampangnya berantakan.
Bangun tidur sama sekali tidak tersentuh air atau setidaknya mengguyurnya sedikit dari kran wastafel di kamar mandinya ke lapisan kulit wajah, atau mengutak-atik wajahnya dengan lapisan apa pun―langsung menggerek tubuh ke bawah menuju ruang makan keluarga.
Ada saatnya Reina rajin merapikan diri sebelum sarapan, itu dilakukannya jikalau ada aktivitas lain menunggunya, tapi kebanyakan lebih sering tampil parah, awut-awutan.
***
"Mau ke mana?" tanya Elia lembut.
"Ke kamar," jawab Reina malas sembari membawa sepotong roti bakar berisikan keju dengan yoghurt serta segelas susu.
"Di sini saja sarapannya!" ujar ibunya tenang.
"Di atas saja, Ma!" Reina sedikit memaksa.
"Kasihan Bi Dewi, naik turun tangga buat ngambil piring dan gelas di dalam kamarmu, Rein. Di sini saja, biar Bi Dewi ngebersihin semuanya, sekaligus."
"Nanti Reina bawa turun ke bawah, Ma!"
"Ya sudah, nggak apa-apa! Asal sarapannya dimakan loh," saran ayahnya. Hermawan dengan lembut berusaha menyudahi percakapan istri dan putrinya, tak ingin adanya debat pagi di saat mereka sarapan, cukup debat di televisi yang perlu di dengarnya di pagi ini, "satu lagi, sebelum sarapan rapikan diri. Setidaknya cuci dulu wajahmu Rein, jangan dibiasakan sifat buruk itu, takutnya nanti sifat itu jadi permanen dalam dirimu."
"Oke Pa....." semangat Reina, mendadak.
"Dan jangan lupa, sebentar lagi temanin mama ke restoran." Tambah Elia sembari mengingatkan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkataan suaminya.
"Iya Ma!"
"Tapi mama kepinginnya Reina tampil beda, jangan seperti biasanya," pinta Elia. Dia menginginkan putrinya tampil sebagaimana normalnya seorang gadis, mengenakan dress bukan pakaian menyerupai laki-laki.
"Oke deh! Bisa diatur, Ma." Dengan lekas Reina melangkah menuju kamar bermaksud untuk membersihkan dirinya, dan tak ingin kesekian kalinya diceramahi tentang penampilannya yang tak sesuai dengan selera ibunya.
***
Satu jam kemudian . . . . . . . .
"Rein, sudah siap?" tanya Elia dari luar kamar putrinya.
"Sudah Ma....!" teriak Reina dari dalam sambil berjalan menuju pintu kamarnya, dan sembari membawa gelas serta piring di tangannya, bekas sarapannya tadi.
Penampilan Reina agak berbeda, sesuai permintaan ibunya. Dia tampil sedikit feminin, memakai busana yang berhasil dipadupadankannya─blouse putih dengan floral rok.
"Mama nggak salah lihat nih, kamu kelihatan lebih feminin dan lebih cantik dengan pakaian yang kamu kenakan sekarang ini."
"Mama sama sekali nggak salah lihat. Sesuai dengan keinginan mama." Ucap Reina sambil memutar tubuhnya pelan untuk memperlihatkan keseluruhan pakaian yang dikenakannya karena kedua tangannya masih memegang piring dan gelas, jikalau terlalu banyak bergerak takut kedua benda itu jatuh.
"Pastinya dong, seperti ini yang mama inginkan." Jawab Elia singkat.
"Tapi, apa pun pakaian yang Reina kenakan mau tampil feminin ataupun nggak, Reina tetap Reina. Bukanlah pakaian yang menggambarkan siapa Reina sebenarnya, dan juga bukan pakaian yang bisa mengubah kepribadian Reina." Balas Reina dengan bijak.
"Begini nih yang mama mau dari Reina, pintar dan jago mengolah kata. Tapi mama lebih suka Reina berpenampilan layaknya seorang perempuan. Ke kampus mengenakan dress maupun rok."
"Ma.....! Ini hanya bukan sekadar mengolah kata, tapi ini gambaran bagaimana Reina sebenarnya. Dan, ada masanya nanti Reina mengenakan pakaian seperti yang mama minta, tapi bukan di kampus, terlalu ribet mengenakan pakaian seperti itu di saat usia Reina masih muda yang masih pecicilan, gerak sana gerak sini, susah menyesuaikan dengan pakaian yang sedikit feminin, seolah berpura-pura tampil elegan tapi dalam hati berontak dan terpaksa menahan diri." Jelas Reina panjang dan tetap bijak meski sedikit berbohong, dia bukan gadis yang bisa dikatakan sepenuhnya pecicilan, tetapi memiliki sedikit, atau mengarah sedikit ke sifat itu.
"Mama tahu itu, Rein. Dan mama nggak memaksa kamu harus mengenakan ini-itu," jawab Elia senang karena putrinya berani berterus terang tentang suka atau tidak sukanya terhadap sesuatu. Bagaimanapun juga, dia tetap menginginkan putrinya berpenampilan layaknya seorang perempuan. "Tapi, lihat dirimu, terlihat cantik mengenakan blouse dengan floral rok, siapa pun yang akan melihatmu pasti terpesona."
"Iya dong, Ma! Kan itu tujuan Reina mengenakan pakaian ini." Ujar gadis itu mulai bercanda demi mencairkan suasana yang hampir saja tegang. "Lagian juga kita mau ke restoran! Penampilan harus menarik pengunjung, agar mereka betah. Mana tahu nanti Reina bakalan dapat jodoh di sana!"
"Hssst....! Kamu ada ada saja!" Elia mendadak menegurnya, namun dia setengah tertawa sambil menggelengkan kepalanya, hatinya tersenyum mendengar perkataan konyol putrinya.
"Abis sih! Mama ngebahas penampilan, jadi pembahasan melebar ke sana deh." Ujar Reina manja. Dia bersikap manja seperti ini hanya pada keluarganya, namun pada teman-temannya maupun orang lain dia bersikap apa adanya.
"Ya, sudah! Kita berangkat sekarang, ntar kesiangan loh!"
"Oke....! Mamaku cantik!"
***
Waktu berjalan terus, hingga akhirnya senja beranjak dari permukaan menuju ke peraduannya yang diselimuti gelap, lalu bulan dan bintang-gemintang kembali muncul dan menari-nari di atas bumi, sebagaimana biasanya untuk menyinari malam yang gelap.
Reina menghabiskan waktunya seharian penuh membantu ibunya mengurus restoran. Dan apabila mempunyai waktu lebih, dia bakalan menyisihkan sebagian untuk mengurusi restoran itu lagi. Tidak ingin dianggap anak manja, meminta segala sesuatu meski dapat dipenuhi, harus adanya timbal balik.
Reina harus berterima kasih terhadap apa pun yang diberikan kedua orang tuanya dengan turut merasakan lelahnya mereka mencari uang, bukan berarti di restoran dia harus jadi pelayan mengantarkan pesanan para pengunjung ke meja mereka atau jadi koki maupun chef yang memasak semua pesanan. Bukan itu, kebetulan Reina kuliah di fakultas Ekonomi dengan jurusan Akuntansi, setidaknya dia bisa langsung mempraktikkan ilmu akuntansi-nya dengan membuat dan memeriksa pembukuan restoran, tidak memberatkan tubuhnya tapi lumayan menguras otaknya.
Terima kasih sudah mampir ke Bab 8 Sepasang Topeng Venesia
Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"
Selamat membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Topeng Venesia
General FictionSetiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berkesan, begitulah yang dirasakan seorang gadis muda setelah pulang dari liburannya di Venesia. Meski dia hanya memiliki sebuah topeng karnaval...