Sudah hampir satu minggu, suasana hati mereka tetap saja sepi. Arta dan Amanda banyak merenungi kisah-kisah yang mereka lalui bersama. Sementara itu, Reina dalam kamarnya sedang merapikan diri bersiap untuk keluar, dan di saat bersamaan ibunya berdiri di depan pintu kamar.
"Kamu mau ke mana, Rein. Kamu masih sakit," khawatir ibunya.
"Aku sehat, ma. Aku mau ke kampus, aku bosan di kamar ini terus."
"Tapi kamu masih sakit...sayang."
"Aku sudah sembuh, ma."
"Kata dokter, kamu butuh banyak istirahat."
"Satu minggu sudah banyak, ma."
"Itu belum cukup, sayang."
"Sudah ma....! Reina bukan anak kecil, dan bukan orang penyakitan." mendadak Reina menangis, dan sepertinya ingin marah lantaran dia belum bisa ke mana-mana karena penyakitnya.
Melihat Reina menangis, ibunya menyerbu masuk dan memeluknya erat. Elia berusaha menenangkan emosi anaknya, dan berusaha membawanya terbang hingga ke ketinggian tertentu, agar anaknya benar-benar keluar dari permasalahan yang selama ini dia derita dan pendam, tetapi karena hati gadis itu belum kuat, tetap saja dia gundah.
"Mengapa aku masih hidup, kalau aku nggak bisa ke mana-mana," ujar Reina marah, pikirannya saat itu terasa begitu berat, entah sudah berapa kali dia seperti itu, rasanya hampir setiap hari dia melakukannya sehingga segalanya tampak tidak seperti biasanya. Yang jelas, Elia selalu khawatir apa yang akan terjadi pada anaknya, apakah hidupnya harus demikian rapuh gara-gara penyakit yang dideritanya?
"Sabar Rein," ucap Elia sambil merangkul kuat anaknya.
"Ma....aku pengen menghirup udara luar, kepengen ketemu teman-teman," mohon Reina. "Aku sehat dan aku nggak sakit."
Elia memang merasakan kalau anaknya sudah tampak membaik, dia tidak melihat wajah pucatnya lagi. Dia takkan melarang, dan memberi izin anaknya keluar tapi dengan beberapa batasan karena dia masih khawatir, dan dia juga khawatir kalau terlalu memaksa anaknya untuk berdiam diri di kamarnya malah makin memperparah keadaan putrinya, membuatnya stres karena tidak bisa ke mana-mana akan berisiko terhadap penyakitnya.
"Iya, mama izinin. Tapi dengan syarat, kamu nggak boleh menyetir mobil sendirian," ucap ibunya, "kamu harus mama anterin ke kampus."
"Ma....Rein benar-benar sudah sehat, mama nggak perlu khawatir berlebihan. Rein masih sanggup kok menyetir mobil," ucap gadis itu dan berusaha tidak membuat ibunya merasa was-was. "Mama kan harus ke restoran."
"Ya sudahlah," pasrah ibunya sembari mengingatkan. "Tapi, nyetirnya pelan-pelan."
"Iya Ma."
"Sepulang kuliah langsung ke rumah. Jangan mampir ke mana-mana." Ucap Elia, "dan kalau ada kenapa-kenapa, langsung telepon mama atau masmu, Nathan."
"Siap Ma...."
* * *
Dari tadi Marcel memperhatikan Amanda dan Arta dengan bingung. Kali ini, dia melihat mata kedua gadis itu menerawang kosong, pria itu menjadi penasaran ditambah dengan ketidakhadiran Reina dalam beberapa hari ini, membuatnya bertanya-tanya, apa yang telah terjadi? Segera dia dengan kedua temannya temui kedua gadis itu yang sedang duduk di kantin fakultas ekonomi.
"Reina ke mana, sudah satu minggu kita nggak melihat dia?" tanya Marcel dengan wajah berkerut sambil menatap heran, namun tak ada jawaban yang muncul dari mereka berdua, malahan yang dia dapatkan raut muka yang lagi murung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Topeng Venesia
General FictionSetiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berkesan, begitulah yang dirasakan seorang gadis muda setelah pulang dari liburannya di Venesia. Meski dia hanya memiliki sebuah topeng karnaval...