"Arta, kenapa lama? Reina sudah tertidur," timpal Amanda kesal dari jendela mobil di jok depan.
"Baguslah," ucap Arta sembari menguatkan hatinya yang sempat lemah.
"Manda, kamu saja yang nyetir.....perutku sakit," ucapnya memelas sembari masuk ke dalam mobil, padahal dia tidak merasakan sesuatu yang mengganjal di perutnya, dia hanya kalut mendengar informasi beberapa menit yang lalu.
"Terus, kita mau ke mana, Ta?" tanya Amanda bingung tanpa protes dan sadar diri, tak mungkin membiarkan atau memaksa temannya yang sedang sakit perut mengendarai mobil Reina.
"Ya.....ke rumah Reina lah, Manda."
"Siap....!" tiba-tiba Reina terbangun dari tidurnya, dia mendengar samar-samar percakapan kedua temannya di jok depan, sementara ida berada di jok belakang.
"Aku masih kuat, Ta. Aku mau kuliah," timpal Reina penuh harap.
"Kondisi seperti ini, kamu bilang kuat. Kata dokter, kamu harus istirahat penuh."
"Tahu dari mana kamu?" tanya Reina sembari menahan sakitnya, Arta keceplosan mengeluarkan kata-kata, dia mulai gelisah kalau temannya curiga padanya.
"La, iyalah Rein kalau seseorang kelelahan seperti kamu harus istirahat penuh. Orang lain juga akan berpikiran sama seperti aku, makanya bukan hanya dokter saja yang tahu," tutur Arta sembari mengelak agar tidak menimbulkan kecurigaan di benak temannya itu.
"Amanda, apalagi kamu tunggu? Nyalakan mobilnya," perintah Arta khawatir.
"Ta, kamu kenapa sih?" tanya Amanda kesal.
"Nggak kenapa-napa."
"Kamu buat kita cemas saja," timpal Amanda lagi. Arta tidak perlu menanggapi ucapan temannya. Apabila ditanggapi mereka takkan beranjak dari rumah sakit, akan tetap di situ sebab dari rangkaian kata yang satu akan terangkai perkataan lainnya hingga menimbulkan beberapa pertanyaan. Makanya, Arta lebih memilih diam.
Akhirnya, Amanda menyetir mobil pelan-pelan agar Reina dalam perjalanan terasa nyaman.
***
Beberapa menit kemudian, mereka telah tiba di rumah Reina. Reina menghela nafas, mestinya dia tak perlu merepotkan kedua temannya, pikirnya, namun Arta dan Amanda tak begitu menjadikan ini sebuah permasalahan.
"Ada apa dengan non Reina?" tanya bibi Dewi cemas di depan pintu utama.
"Reinanya kecapekan, bi?" jawab Arta lembut.
***
Setibanya di kamar, Reina di rebahkan di atas tempat tidurnya, Arta mengamati sekelilingnya, tiba-tiba dia minta izin ke Reina untuk menggunakan kamar mandinya.
"Rein, aku numpang ke kamar mandimu dulu ya."
"Silahkan, Ta," jawab singkat Reina melas.
Dalam kamar mandi, di sana di atas meja wastafel, ada kotak cermin gantung. Arta jadi ingin tahu apa isi di dalam kotak itu, lalu membukanya, dia melihat jelas botol-botol kecil berisikan obat-obat yang selama ini dikonsumsi Reina, secara tak sengaja air matanya kembali menetes, hatinya berkata sambil memegang salah satu botol obat "kenapa Reina harus bergelimang obat-obat ini tiap hari?" Arta tidak dapat menahan air matanya lagi, namun harus segera dia hapus, jangan sampai mukanya lembap. Dia takut, kalau-kalau Reina tahu penyakit yang disembunyikannya selama ini sudah terbongkar.
"Rein, aku dan Manda balik ke kampus ya," ucap Arta setelah keluar dari kamar mandi, dan berusaha menyembunyikan rasa cemasnya. "Kamu harus banyak istirahat dulu Rein, pikirkan kesehatanmu."
"Iya.....makasih ya, Ta, Manda telah menemaniku berobat dan mengantarku pulang sampai ke rumah." Jawab Reina dan tidak menanggapi terlalu jauh ucapan Arta, "Ke kampus kalian naik apaan?"
"Gampang.....kan ada taksi online," jawab Manda santai.
"Ya sudah, hati-hati ya ."
Arta dan Amanda segera keluar dari kamarnya Reina serta ditemani Bibi Dewi. Setibanya di depan pintu gerbang rumah, mereka berpamitan.
"Bi, kami pamit dulu.....tolong Reina dijaga dengan baik ya, bi. Terus, kalau bisa om dan tante diberitahu segera," saran Arta tampak risau.
"Baik non Arta," jawab sopan bi Dewi.
***
Hati Arta terus berkecamuk mengingat kembali perkataan dokter.
"Arta, kamu kenapa....kamu sakit....matamu merah....habis menangis, ya?" paksa Amanda penuh harap. "Dan, kenapa kita harus buru-buru ke kampus, seharusnya kita menunggu Reina tertidur dulu."
"Kalau kita masih di situ, Reina nggak akan istirahat, malah kita yang ikutan istirahat."
"Iya juga sih, Ta," ucap Manda setuju, tapi masih penasaran. "Kamu belum menjawab, kenapa matamu merah? Kamu sakit juga ya."
Arta harus bagaimana, dia sudah berjanji sama dokter Benyamin tidak akan membocorkan penyakit apa yang sebenarnya diderita Reina, tapi Amanda bukan orang lain, dia juga sahabat Reina.
"Ternyata, Reina ngebohongin kita selama ini," ucap Arta.
"Memang Reina kenapa, Ta?" tanya Amanda penasaran dan Arta hanya terdiam.
"Ta....Reina, kenapa?" paksanya sambil menarik-narik pundak Arta. "Kok kamu malah diam."
"Reina mengidap kanker darah." Amanda kaget seketika sembari meneteskan air mata.
"Yang benar kamu, Ta?" sembari mengguncang tubuh Arta yang menangis.
"Ta, tolong bilang kalau semua ini bohong....tolong, Ta!" sambil menangis.
"Aku nggak bohong, dan aku malu Manda. Teman sendiri....aku nggak tahu dia sakit parah."
"Apa bedanya denganku, Ta. Aku juga begitu," rasa bersalah menembus hatinya Manda dan belum sepenuhnya menerima perkataan Arta. "Tapi kamu tahu dari mana, Ta?"
"Tadi di rumah sakit, sebenarnya aku bukan ke toilet tapi ke ruang praktik dokter yang memeriksa Reina."
"Kenapa kamu ke sana?"
"Aku curiga dan nggak yakin dengan ucapan Reina, kalau dia hanya kelelahan."
"Jadi, dokter ya memberitahumu."
"Iya.....setelah aku memaksa, awalnya dia nggak mau memberitahuku."
"Pantesan saja kamu lama," ucap Manda. "Dan, sebenarnya kamu juga nggak sedang sakit perut."
"Iya...." ucap Arta sembari mengingatkan, "Manda, tolong sementara waktu, kita pura-pura nggak tahu kalau Reina menderita leukimia, dan jangan beritahu teman yang lain," pinta Arta sambil menghapus air matanya.
"Kenapa begitu, Ta?"
"Sebab tadi aku sudah berjanji pada dokter, Reina nggak ingin kita khawatir, dan jangan sampai kita membuatnya khawatir."
"Iya Ta.....akan aku usahakan," jawab Manda.
"Aku juga begitu Manda, sementara waktu nggak akan bertanya apa-apa tentang penyakitnya. Aku takut membuat Reina khawatir dan kepikiran."
"Kita mau ke mana lagi Ta, balik ke kampus saja ya." Saran Amanda gelisah. Kedua gadis itu meninggalkan kediaman Reina dengan membawa segenggam keresahan.
Terima kasih sudah mampir ke Bab 31 Sepasang Topeng Venesia
Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"
Selamat membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Topeng Venesia
General FictionSetiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berkesan, begitulah yang dirasakan seorang gadis muda setelah pulang dari liburannya di Venesia. Meski dia hanya memiliki sebuah topeng karnaval...