"Pagi Man.....Ta!" sapa Reina pada dua temannya dalam sebuah ruangan perkuliahan, mendadak wajah Amanda kembali memerah. Kekesalannya terhadap kedua pria tadi belum sempat reda, eh.....Reina tanpa tahu masalah, datang membawa kemarahan baru. Sebelum memasuki ruang perkuliahan Reina selalu menanggalkan topinya lebih dulu.
"Ta, kok Manda jadi sewot gitu ?" tanya Reina bingung.
"La iyalah Rein! Kamu manggil dia 'Man'," jawab Arta sambil menutup buku bacaannya.
"Memangnya kenapa? Kan itu nama panggilannya sehari-hari."
"Tapi, nggak pakai dipotong kali."
"Maksudnya?"
"Harusnya memanggilnya dengan nama yang lengkap 'Amanda, atau Manda, asal jangan Man' saja."
"Biasanya nggak marah bahkan nggak pernah marah. Kamu juga manggil Manda dengan panggilan yang sama," protes Reina pada Arta.
"Mulai sekarang telinganya merasa nggak nyaman mendengar panggilan itu lagi," jelas Arta berusaha menghilangkan kebingungan temannya.
"Kok bisa?" bukan bingungnya hilang malah Reina jadi penasaran.
"Begini kejadiannya," Arta menceritakan, apa yang barusan dialami Amanda dan dirinya di saat bertemu dengan kedua pria yang pernah mereka tertawakan di bandara Malpensa, tapi dia tidak menyebutkan secara detail berapa jumlah pria itu dan siapa saja mereka, apakah dia Marcel, Mario atau Martin, dia hanya mengatakan mereka kumpulan pria penyuka nenek-nenek, dan tak lupa menyebutkan mereka kuliah di kampus yang sama, lantas terjadilah sebuah pertengkaran berunsur balas dendam hingga nama Amanda jadi taruhannya.
"Ha.....ha.....ha," tawa Reina.
"Kok malah ketawa?" Arta bingung.
"Abis lucu!"
"Apanya yang lucu?"
"Ya itu, kalau nama sehari-harinya cuma dipanggil 'Man', siapa saja yang mendengarnya punya persepsi yang berbeda tentang nama panjangnya, dengan menciptakan nama yang baru sesuka hati mereka, contohnya seperti para cowok penyuka nenek-nenek seenak jidat mereka meledek bahkan mengubah nama Manda jadi Manyun atau bisa jadi Mandra, mandul, manja atau apalah itu."
"Nggak lucu, Rein," kesal Arta. "Teman lagi ngambek bukan nenangin malah ikut ngetawain dengan membuat argumen sendiri tentang persepsi orang lain."
"Maaf Ta! Bukan maksudku menertawain apa yang barusan kalian berdua alami. Pikiran yang ada dalam kepalaku saat ini kayak cacing kepanasan, selalu ingin berpendapat tentang apa yang terjadi di sekitarnya meskipun itu sedikit nyeleneh."
"Nyeleneh sih nyeleneh, tapi nggak di saat seperti ini."
"Sebegitu parah kah kejadiannya, sehingga apa yang kukatakan salah."
"Ya sudahlah, kalau isi dari kepalamu kayak cacing kepanasan, mudah-mudahan sikapmu nggak seperti itu juga." Arta berupaya tenang agar situasi saat ini jangan sampai tegang.
"Tapi, karena mereka telah nyakitin hati Amanda, sekarang sikapku kayak cacing kepanasan juga. Ingin kubalas!" kedua tangan Reina mengepal dan parasnya berubah sangar.
"Nggak perlu, Rein," larang Arta.
"Kenapa?"
"Biarkan saja mereka dengan sikapnya, hanya keributan yang nantinya tercipta jikalau nuruti kata hatimu."
"Ini bukan masalah kata hatiku, Ta. Tapi ini masalah harga diri Manda. Mereka itu cowok pengecut, banci, beraninya sama cewek." Jelas Reina kesal, sementara Amanda hanya diam saja memperhatikan kedua temannya yang memperdebatkan sikap yang bagaimana seharusnya ditempatkan di situasi seperti ini.
"Tapi Rein....." Arta berupaya menghilangkan amarah yang mulai tertanam di diri temannya.
"Nggak ada tapi!" potong Reina membuat temannya tampak jengkel.
"Terserah kamu deh," pasrah Arta karena percuma kalau Reina sudah keras kepala susah diberitahu. Dia menyudahi perdebatan itu dengan kembali membuka buku bacaannya.
***
"Mereka fakultas apa, Manda?" tanya Reina dengan gertakan keras dan kesal lantaran melihat temannya yang manja ini cemberut, bukannya berbuat apa malah meratapi dirinya yang lemah. Reina jengkel, ini juga dikarenakan Arta mulai terlihat masa bodoh dengannya, yang tadi berusaha melarangnya menciptakan keributan untuk kesekian kalinya, kini tampak dingin.
Mendengar gertakan temannya, Arta terkejut meski bukan dia yang ditanyai Reina; buku dalam genggamannya terlepas. Dia begitu cemas melihat perubahan temannya, suaranya ganas seperti ngaungan raja hutan atau petir yang menyambar, berarti gadis ini benar-benar marah. Sementara Amanda yang digertak tak terima diperlakukan seperti itu, di saat dirinya sedang sakit hati lantaran barusan dipermainkan dua pria pengecut.
"Loh.....kok aku yang dimarahi, apa salah dan dosaku?" Protes Amanda dengan manja dan sok cantik.
"Jangan bercanda! Katanya kesal." Marah Reina.
"Maaf....!"
"Apa karena rasa sakit hatimu sudah sembuh?"
"Lihat wajahku Rein, apa terlihat bahagia atau sedih," bukannya menjawab malah menanyakan bagaimana ekspresi wajahnya.
"Aku ini serius Manda!" ujar Reina masih tampak marah. "Dan lagian ekspresi wajahmu nggak jelas, kehalang sama make-up mu yang tebal."
"Aku tahu kau marah! Tapi nggak perlu libatkan make-up ku." Gertak Amanda balik sembari memukul meja. Mahasiswa yang berada sekeliling mereka yang asyik mengobrol, terperanjat. Baru kali ini mereka melihat si ratu gosip marah benaran, terlihat garang dan seketika itu wajah menornya kayak tante girang sirna berkat urat di wajahnya yang mulai timbul.
"Marah pakai ngomong!" gerutu Arta pelan, namun Reina mendengarnya.
"Bagaimana nggak marah, memangnya kamu nggak sakit hati dikatain bahkan dipermainkan kedua cowok tadi, Ta. Seperti yang dirasakan Manda sekarang?"
"Siapa juga nggak sakit hati! Aku sakit hati Rein, dan juga marah, tapi kamu juga jangan bentak-bentak kita seperti ini," dongkol Arta. Dia tidak bisa terus-menerus menahan amarahnya, sekali-kali harus berani bertindak tegas menentang emosi orang lain, meskipun itu sahabatnya sendiri.
"Maaf...!" ucap Reina singkat, dia marah karena terbawa emosi.
Pertengkaran kedua gadis itu berujung pada sebuah kebodohan yang telah mengakar dalam pertemanan mereka. Kekesalan Arta mulai berangsur reda, bahkan lenyap melawan keadaan perasaan.
***
"Oh ya Rein! Sepertinya cowok-cowok itu fakultas teknik sebab salah seorang dari mereka mengenakan jaket Hima Teknik," Arta tanpa sadar keceplosan memberi petunjuk, di mana nantinya Reina dapat menemukan kedua pria itu.
"Man, tenang saja! Akan aku balas sakit hatimu," ujar bego Reina setelah mendengar petunjuk dari Arta.
"Rein.....namanya bukan Man! Tapi A...man...da," tegas Arta dan mengingatkan.
"He.....he.....he," tawa Reina sambil nyengir. "Lupa, maaf ya Manda. Akan aku usahakan memanggil namamu dengan lengkap, bahkan nama panjangmu sekalian Amanda putri mekar mewangi yang cantik."
Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"
Terima kasih sudah mampir ke Bab 12 Sepasang Topeng Venesia
Selamat membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Topeng Venesia
General FictionSetiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berkesan, begitulah yang dirasakan seorang gadis muda setelah pulang dari liburannya di Venesia. Meski dia hanya memiliki sebuah topeng karnaval...