16

51 3 0
                                    


Siang itu, ketika keluar dari gedung fakultas ekonomi, entah kenapa Marcel tampak seperti orang bingung celingak-celinguk sana-sini membuat Mario dan Martin ikutan bingung. Ada apa dengan dia? Pikir kedua temannya, dari gerak-geriknya seperti dibuntuti seseorang, atau dia mencari sesuatu di pelatar parkiran fakultas layaknya pemburu harta karun beraksi di atas bukit untuk menemukan sesuatu yang membuatnya kaya.

"Kenapa kita harus ke sini, Marcel?" tanya Mario, "ini kan pelataran parkir fakultas ekonomi, memangnya mobilmu diparkir di sini."

"Mana mungkin, aku parkirin mobil di sini. Ini parkiran khusus untuk mahasiswa, karyawan dan staf pengajar fakultas ekonomi. Apa kau nggak menyimak obrolanku tadi bersama Marsha."

"Aku dengar semua percakapanmu dengan Marsha."

"Pastinya, kau tahu dong, tujuanku ke sini."

"Sama sekali nggak."

"Mendengar, tapi nggak memahami," kesal Marcel. "Bagaimana denganmu Martin."

"Sama, aku juga nggak tahu," jawab Martin.

Marcel jadi geregetan dengan ketidaktahuan kedua temannya. Tidak tahu atau otak mereka terlalu lamban mencerna maksud percakapannya tadi dengan Marsha.

"Dan, kau Martin kenapa otakmu mendadak ikutan lamban kayak Mario."

Mario teramat kesal mendengar ucapan temannya, seakan dirinya yang paling bodoh di antara mereka bertiga. Padahal, dia tidak sebego yang dibayangkan Marcel. Menurutnya, baru kali ini dia berat kepala memikirkan sesuatu sehingga terlihat dongok―benar-benar tidak tahu apa yang dimaksudkan temannya.

***

"Itu mobilnya!" seru Marcel setelah berhasil menemukannya. Benar juga apa yang dikatakan Marsha, cuma satu mobil yang berwarna putih terparkir di sini.

"Mobil siapa?" Mario benar-benar masih terlihat lamban.

"Kau dengarkan yang dibilang Marsha tadi, satu-satunya mobil putih yang terparkir di sini, cuma mobil Reina." Jawab Marcel sembari mendekati mobil itu bersama kedua temannya.

"Kalau itu mobil Reina, terus kau mau ngapain, Marcel." Mario benar-benar tak paham dengan isi pikiran temannya, namun ini saatnya membalas rasa kesalnya tadi. "Katanya benci, tapi pengen tahu Reina pakai mobil apaan ke kampus. Parahnya lagi, ke sini buat mastiin apa benar itu cewek parkirin mobilnya di sini. Jangan-jangan hatimu sudah berubah aluhan, awalnya benci, entah kenapa tiba-tiba sekarang jadi jatuh cinta. Ternyata, si jago ngerebutin hati cewek luluh juga sama cewek yang mempermalukannya. Kisah cinta yang lucu.....ha ha ha."

"Jangan bercanda, bukan waktunya untuk itu." Jengkel Marcel.

"Aku sedang nggak bercanda, malah kau yang bercanda. Sejak kapan menyukai Reina. Padahal antipati terhadapnya bahkan dari sorot mata dan wajahmu seolah mengatakan haram bagimu menyukainya," serang Mario.

Marcel jadi keder, bagaimana cara menyampaikan ke temannya tentang tujuannya kesini tanpa menceritakan kejadian tadi pagi yang mempermalukannya―bagaimana caranya membuat mereka mengerti bahwa dirinya layak melakukan sesuatu, menuntut balas apa yang dirasakannya di kantin tadi. Dan, tak ingin dibantai habis-habisan dengan perkataan Mario yang tampak senang membalas ucapannya tadi, sedikit menyinggung perasaan temannya.

"Kenapa kalian berdua jadi berantem," Martin berusaha melerai. "Sebenarnya tujuanmu ke sini, apa Marcel."

"Aku masih membencinya, dan pengen memberinya sedikit pelajaran, itu tujuanku."

"Memangnya, Reina mengganggumu lagi."

"Nggak....!" Marcel berusaha menyembunyikan apa yang menyebabkan dia kembali membenci gadis itu.

"Terus kenapa kau marah," ucap Martin tak sadar dengan apa yang dilakukannya tadi terhadap kedua teman Reina. Apa bedanya dia dengan Marcel. "Lupakan saja kejadian di Italia kemarin."

"Nggak segampang itu melupakan kejadian di bandara kemarin, dan terserah kalian mau ngomong apa."

"Memangnya, apa yang ingin kau lakukan dengan mobilnya Reina," Mario merasa tak nyaman dengan sikap temannya, kerasukan setan apa dirinya sehingga ingin berbuat jahat terhadap gadis itu.

"Aku ingin sedikit mengutak-atik mobilnya."

"Jangan bercanda Marcel," larang Martin mendadak memasang badannya di hadapan sedan putih itu. "Jangan pretelin mobil ini, nanti kau mencelakainya."

"Minggir Martinnnnn....!" bentak Marcel. "Aku bukan orang bodoh, dan aku nggak akan membuatnya celaka. Aku nggak sekejam itu, hanya sedikit memberinya pelajaran yang nggak akan melukai fisiknya."

"Tapi, mengutak-atik mobilnya sama saja membuatnya celaka," kesal Mario.

"Kalau kalian berdua nggak mau membantuku, mendingan diam saja, nggak usah protes dan melarangku."

"Terserah kau Marcel, setidaknya kami sudah mengingatkan," Martin menyerah menghadapi keras kepalanya Marcel.

"Sebegitu parahkah sakit hatimu terhadap Reina," tambah Mario.

"Kalian berdua bisa nggak diam. Sudah kubilang, nggak bakal membuatnya celaka." Lagi-lagi bentak Marcel karena kedua temannya mengganggu konsentrasinya, malah suara mereka yang nantinya membuat Marcel benar-benar mencelakai Reina karena tak fokus mempreteli salah satu spare part sedan putih itu, terutama ban belakangnya. 

Akhirnya, mau tak mau dengan terpaksa kedua temannya membiarkan Marcel melakukan hal buruk terhadap mobil Reina, dan untung saja pelataran parkir tampak sepi. Mereka berdua berharap sesuatu yang buruk jangan sampai menimpa gadis itu, dan mereka juga tetap cemas dengan apa yang dilakukan Marcel.



Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"

Terima kasih sudah mampir ke Bab 16 Sepasang Topeng Venesia

Selamat membaca!

Sepasang Topeng VenesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang