Sore hari, sepulang dari kuliah, Arta, Manda dan Marcel serta kedua temannya, datang menemui Elia, ibunya Reina di restoran. Setiba di sana, mereka disambut santun oleh karyawan restoran.
"Ada yang bisa saya bantu, mba Arta," perhatian Imelda salah seorang pelayan restoran, yang sudah mengenal kedua sahabat Reina.
"Tante Elia, ada Mel," tanya Arta lembut.
"Ada, tapi lagi ada tamu, tunggu ya mba, tamunya sebentar lagi keluar," senyum Imelda.
Raut muka Marcel memang tidak secermelang biasanya. Wajahnya itu, masih menyimpan sejuta keresahan, di balik senyumannya yang menipu. Namun, temannya tidak bisa dia kelabui begitu saja.
"Kau kelihatan nggak bersemangat hari ini, Marcel. Lihat tampangmu, gelisah," ujar Martin.
"Sebaiknya, langsung saja katakan, apa yang kau pikirkan?" Mario ikut bicara.
"Kau mengkhawatirkan Reina, ya," tanya Mario lagi, namun tak ada jawaban karena terpotong oleh tamunya ibu Elia.
Dari ruangan wanita setengah baya itu, keluar Dokter Benyamin yang pernah Arta bujuk atau setengah memaksa agar dokter itu memberitahu penyakit apa sebenarnya yang diderita Reina. Mendadak, Arta menyuguhkan seuntai senyuman yang anggun terhadap dokter Benyamin, kini cemas mendesahkan erangan, sedang apa dokter itu di sini, pikirnya.
***
"Permisi Bu!" sopan Imelda. "Mba Arta dan mba Manda beserta temannya yang lain ingin ketemu dengan ibu."
"Ada perlu apa?" tanya Elia.
"Katanya penting." Tanpa berpikir panjang dan bertanya-tanya lagi, Elia langsung mempersilahkan.
"Ya sudah! Suruh saja mereka masuk," pinta ibunya Reina.
Di saat kedua gadis itu masuk beserta Marcel dan kedua temannya, Elia langsung menyapa mereka.
"Ada apa.....Arta....Manda?" seraya tersenyum ramah, "dan ketiga cowok ini, siapa?"
"Mereka teman satu kampus kita, tan," jawab Arta sambil memperkenalkannya satu-persatu, "Ini Marcel, Mario dan Martin."
"Kalian satu fakultas juga dengan Reina?" tanya Elia pada ketiga pria muda itu.
"Nggak bu, kita bertiga dari fakultas teknik," jawab Marcel.
"Oh.....dari fakultas teknik toh," ucap sopan Elia dengan wajah keibuannya. "Jangan panggil ibu, panggil saja tante!"
"Iya, tan!" balas Marcel
"Terus, ada apa tiba-tiba kalian ingin ketemu tante, ada yang bisa tante bantu?"
"Kenapa tante nggak pernah bicara ke kita, kalau Reina sakit?" timpal Arta sedikit kecewa.
"Maksudnya?" Elia sedikit bingung.
"Reina mengidap Leukimia, benar kan itu....tan," jawab Arta langsung.
"Kalian tahu dari mana?" tanya Elia setengah kaget.
"Arta cari tahu sendiri, lantaran Arta sedikit curiga dengan kondisi Reina," jawab Arta dan merasa putus asa. "Kenapa Reina harus menyembunyikan semua ini? Arta menjadi merasa bersalah, tan!
"Arta, kamu nggak salah, kamu malah telah mengisi ruang bahagia di hati Reina, begitu juga denganmu Manda" ucap Elia tenang.
"Reina sering cerita sama tante, bahwa kalianlah yang selalu membuatnya ceria, membuatnya merasa lebih hidup, dan tante sangat berterima kasih dengan itu semua," Elia mencoba menahan tangisnya dengan membujuk mereka makan.
"Kalian sudah makan?" tanya Elia penuh perhatian, "biar tante panggil pelayan, ya!"
"Nggak usah, tan," timpal Arta. "Kita sudah makan di kantin kampus."
"Sekarang ini, kita lagi nggak selera makan, karena kepikiran sama Reina, tan!" tambah Manda.
"Tante paham!" Elia berusaha mengerti perasaan kedua sahabat anaknya. "Reina seperti ini, lantaran dia nggak menginginkan kalian sedih."
"Seandainya Reina bersedih, wajar saja kita ikut merasakan, sebab kami ini sahabatnya."ucap Arta, Elia hanya diam, dalam hatinya dia begitu terharu anak perempuannya ternyata banyak yang memedulikannya.
"Apakah kalian sudah ketemu Reina?" tanya Elia berusaha mengalihkan pembicaraan yang seakan-akan membuat kedua gadis itu merasa bersalah karena ketidaktahuan mereka selama ini tentang penyakit yang diidap Reina.
"Belum tan," jawab mereka serempak dengan bingung.
"Katanya, hari ini dia ke kampus. Ingin ketemu kalian."
"Jadi.....cewek yang tadinya ingin masuk ke kantin, terus mendadak lari keluar.....Reina! Berarti, tadi aku tidak salah lihat," timpal Mario dan tergagap. "Kemungkinan besar, Reina mendengar percakapan kita."
***
Marcel menghela nafas panjang, kalau akhirnya Reina tahu ini semua, dia semata-mata merasa bersalah telah membuat suasana jadi rumit seperti ini. Reina khusus datang ke kampus ingin menemui mereka, namun yang dia dapatkan kesedihan yang disebabkan oleh dirinya.
"Ini semua salahku, begini jadinya, karena aku memaksa Arta dan Amanda," sesal Marcel, kekhawatiran semakin menumpuk di benaknya.
"Kenapa kamu nggak ngomong dari tadi, Mario?" ucap Marcel gugup, Mario hanya diam, dia tak tahu mau berkata apa terhadap Marcel, lantaran dia bingung melihat kepanikan pria itu.
Dan entah kenapa, sedikit kecemasan mulai muncul di benak ibu Elia, dan juga sedikit ketakutan merangsang pikirannya, seolah-olah dia telah melakukan sebuah kesalahan besar. Dia segera meraih telepon genggamnya.
"Sebentar ya, tante coba hubungi ponselnya," ucapnya cemas, dan beberapa kali dia menghubunginya, namun Reina tidak menjawab.
"Nggak diangkat," ucap Elia sedikit panik.
"Tunggu, tante hubungi ke rumah, mudah-mudahan Reina sudah balik," sopan Elia sembari menahan kecemasannya, wajahnya masih melukiskan kerisauan.
"Kata Bi Dewi, Reina nggak ada.....Rein, jangan buat mama khawatir dong," Elia tak sanggup membayangkan lagi.
"Tante jangan cemas, kita ada di sini....kita yang akan mencari Reina," timpal Marcel.
"Tante ikut, ya?"
"Tante di sini saja," timpal Marcel balik.
"Iya, tante di sini saja. Biar kita yang mencari Reina!" Arta berusaha menahan atau tidak menangis.
"Rein, ke mana kamu sih," gerutu Manda.
* * *
Terima kasih sudah mampir ke Bab 34 Sepasang Topeng Venesia
Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"
Selamat membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Topeng Venesia
General FictionSetiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berkesan, begitulah yang dirasakan seorang gadis muda setelah pulang dari liburannya di Venesia. Meski dia hanya memiliki sebuah topeng karnaval...