Besok harinya, pukul 19.00, Reina keluar dari ruangan pemilik restoran, tempat biasanya ibunya bekerja. Dia rela menahan kantuk demi amanah yang dilimpahkan kepadanya, seperti di hari kemarin, ibunya masih punya kesibukan lain yang harus diselesaikannya. Dengan punggung yang tegak, dagu terangkat, dan mata yang memancarkan daya tarik yang begitu teduh, Reina pun melangkahkan kakinya dengan tenang. Begitu dia keluar, didapatinya orang-orang memenuhi restoran, dan menangkap suara-suara dari para pengunjung dalam berbagai bahasa asing lantaran tempat ini merupakan favorit di seputaran Menteng bagi tamu lokal maupun luar. Gadis itu menatap para pengunjungnya dengan tatapan penuh senyuman, sebab tak asing lagi baginya dengan suasana yang demikian.
Sesaat kemudian, Reina berdiri di depan akuarium kaca berukuran dua meter kali satu meter yang berada di salah satu sisi bangunan tersebut, dia membelakangi para pengunjung seraya melepas rindu pada ikan-ikan hias di dalamnya. Saat dia melihat ikan, stresnya hilang, apalagi melihat mereka berebutan mengambil makanan. Ikan-ikan langsung berkumpul dengan mulut terbuka lebar. Corak warna-warni di tubuh ikan air tawar itu menambah keindahan restoran tersebut, seakan menawarkan keceriaan. Reina bersiul rendah dan mengerang pelan.
"Ya ampun, lucunya!" keluar dari sifat tomboinya.
"Anak-anak manis, makan yang banyak, biar sehat," kata Reina dingin sambil melepaskan kegembiraannya terhadap ikan-ikan di dalam akuarium besar itu, mungkin mereka tidak demikian menderita sebab kelembutan demi kelembutan sering mereka dapati. Perasaan kagum Reina timbul, ketika tubuh-tubuh kecil itu memperlihatkan keindahannya. Sorot matanya menggambarkan perasaan lega.
"Mereka kecil-kecil memesona," Reina masih berdiri tegak di depan akuarium itu dan terus melongok ke bawah.
* * *
"Mbak, ke sini sebentar," salah seorang pria muda memanggil pelayan restoran tersebut.
"Mbak, selain masakan nusantara, ada masakan apalagi."
"Kebetulan kita ada masakan asing, masakan dari Taiwan." Ucap pelayan restoran sambil memberi buku menu bergambar, dan pria itu melihat-lihat daftar menu tersebut.
"Aku pesan Sheng Yu Tang satu porsi," ucap pria itu dengan sopan, dan tiba-tiba dia bingung melihat teman-temannya diam tanpa memesan apa-apa.
"Kalian, mau pesan apa?" tanya Marcel.
"Harus ya, makanan luar," ucap Mario melas, mau bagaimana lagi yang bayarin Marcel, terpaksa nurut.
"Sekali-kali, nggak apa kan, lokal melulu," jawab Marcel. "Kalau kau mau pecel lele, sana warung tenda depan. Selagi aku traktir, pesan saja yang ada di daftar menu, jangan yang ada di daftar pikiranmu, bakalan nggak ada di sini."
"Oke.....oke.....oke.....aku akan pesan yang ada di menu," kesal Mario sambil melihat daftar menu. "Parah kau Marcel, begitu saja marah."
"Aku yang ini saja," jawab Martin seraya menunjukkan gambar yang terdapat dalam buku menu. Dan lagi-lagi dia malas mendengar perang mulut di antar kedua temannya.
"Oh....Jing Gup Zong," ucap pelayan dengan penuh senyum.
"Jing Gup Zong, apaan tuh Mba?" tanya Mario, membuat yang lainnya malu terutama Marcel dan Martin hanya menggeleng kepalanya.
"Dasar norak!" seru Marcel.
"Abis.....aku nggak tahu, daripada asal makan nantinya." keluh Mario.
"Nggak apa-apa kok, Mas, ini memang kewajiban saya untuk menjelaskannya. Jing Gup Zong itu, daging burung dara dengan perpaduan daging sandung lamur, terus, dicampur dengan berbagai rempah-rempah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Topeng Venesia
General FictionSetiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan cintanya. Ada dengan cara yang aneh dan unik namun berkesan, begitulah yang dirasakan seorang gadis muda setelah pulang dari liburannya di Venesia. Meski dia hanya memiliki sebuah topeng karnaval...