10

49 4 0
                                    


Jari-jemari Reina masih bertengger di atas layar ponselnya, dia masih berinteraksi dengan seseorang melalui jaringan facebook dan messenger-nya. Dan, makin lama arah pembicaraan mereka semakin menyimpang. Ternyata, lawan chatting-nya ini tak jauh beda dengan yang lain. Pria itu dengan isengnya menanyakan sesuatu yang selalu membingungkan Reina untuk menjawab antara mau marah atau tidak.

"Mau nggak kamu jadi pacarku?" Reina menanggapi seperti mana biasanya, sebab pertanyaan ini sering muncul dari lawan facebook, tapi kenapa para pria yang tak tahu bentuk wajahnya begitu mudah melontarkan permintaan seperti itu.

Maksud dari keinginan pria ini, membuat Reina hendak meminta sebuah penjelasan balik. Pasalnya kata 'pacar' selalu menimbulkan keresahan baginya, entah kenapa rasa itu sekonyong-konyong selalu muncul dalam hatinya menyebabkan luapan emosinya terlepas gara-gara hanya sebuah kata.

"Kamu, siapa sih?" tanya Reina kesal, dan pria itu menyadari ketidaksenangan lawan chatting-nya atas permintaannya yang sebenarnya tidak memaksa hanya sekedar menawarkan diri dan mana tahu diterima.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Jangan marah, santai saja!"

"Ya....! Siapa juga nggak marah, kita baru kenal, kamu sudah main tembak."

"Memangnya, kenapa kalau aku jadi pacarmu, salah?"

"Bukannya itu maksudku. Hanya saja, kamu begitu mudah mengucapkan kata-kata itu, dikira ini permainan. Ingat dong! Wanita bukan barang murahan!"

"Kok kamu jadi marah benaran sih. Aku cuma nanya, mau apa nggak? kalau nggak.... bilang saja nggak, kok malah dipersulit."

"Aku bukannya marah, hanya saja dari tutur kata-katamu itu, kamu seolah-olah menyamakan dirimu dengan pria-pria lainnya."

"Maksud kamu?" tanya pria itu, pura-pura tidak tahu.

"Sudah deh, jangan sok pura-pura nggak tahu. Aku malas memperdebatkan hal beginian lagi, capek!" kesal Reina.

"Kenapa?" paksa pria itu.

Malam itu rasanya menjadi malam yang sangat panjang. Reina masih berkutik dengan ponselnya, perasaannya masih terlalu kacau untuk merangkai kata-kata lantaran masih tertahan dengan rasa kesalnya. Siapa yang tidak marah, seseorang belum dikenalnya secara langsung, melihat fisiknya seperti apa, tutur kata ataupun cara bicaranya sama tidak dengan caranya berinteraksi di dunia maya, apalagi sifatnya, itu perlu diketahui sebagai pertimbangan layak tidaknya dijadikan sandaran hati. Setidaknya, sebelum menawarkan diri beri waktu beberapa hari atau malah beberapa minggu untuk saling mengenal terlebih dulu, baru tunjukkan pesona diri. Bukan main tembak begitu saja, tentu orang yang dituju kaget dan kesal. Untungnya Reina masih bisa membimbing hatinya agar tenang hingga rasa kesal tidak perlu memagari hatinya begitu lama.

"Dalam keluargaku, tertutup masalah pacaran dan belum ada ruang bagiku untuk melakukannya, karena saat ini belum waktu yang tepat untuk itu. Aku masih menempuh pendidikan, makanya orang tuaku melarang begitu juga denganku." Sementara hatinya berkata lain, ini cuma aturan yang seketika terlintas di pikirannya, mungkin ini satu-satunya cara untuk menghindar agar pembicaraan ini jangan terlalu panjang.

Mendadak Reina heran, kenapa dia bisa begitu lancar berbohong, apa ini cara untuk menenangkan hatinya. Namun, perkataannya tadi belum mampu mengubah perasaan pria itu, malah makin mematangkan emosi Reina.

"Kamu pastinya masih perawan?" tanya pria itu tanpa berpikir kalau pertanyaannya tampak nakal dan vulgar bila ditanyakan pada perempuan baik-baik. Kemarahan kembali muncul di benak Reina dan merasuki pikirannya. Kenapa pria ini mendadak kurang ajar, sebegitu cepatkah perubahan terjadi dalam dirinya yang awalnya sopan sekarang menjadi begitu nakal.

Sepasang Topeng VenesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang