Happy Reading!Jangan lupa tinggalkan jejak bintang dan komentar, ya!
__________________________Tunggu, kalian penasaran sesuatu tidak?
Tentang kak Lena, kok aku bisa tiba-tiba kenal? Hmm, ternyata waktu menulisnya aku kelewatan sesuatu.
Ya, seperti dugaan kalian. Kebetulan, 'pemberontakan' di toilet itu terjadi di hari pertama aku ekstrakurikuler Paduan Suara. Di kegiatan itu juga aku berkenalan dengan kak Lena.
Tetapi baru kusadari sekarang. Rasa-rasanya, sebelum perkenalan di kegiatan Paduan Suara itu, aku sudah pernah bertemu dengannya.
Sayangnya, aku lupa. Abaikan saja, lama-lama nanti juga ingat.
Semenjak kejadian di toilet itu, hidupku lebih tenang. Atmosfer di kelas tampak lebih kondusif untuk belajar. Ya, aku tidak terlalu banyak diganggu. Meski demikian, tetap saja aku sering disuruh piket sendirian. Tidak masalah, karena aku lebih memilih menyapu kelas dibanding jenis perundungan yang lainnya.
Terlebih, sejak kejadian di toilet aku sering diajak makan bersama kak Irina dan kak Lena. Iya, jadi jarang istirahat di kelas. Dan untuk pengusiran yang dilakukan kak Irina, masih membuatku takjub. Esok-esok harinya aku tidak menemukan keberadaan 'pelaku pelecehan' itu. Apakah benar dia dikeluarkan? Sayangnya, aku juga tidak tahu banyak.
Tetapi, ada yang lebih mengejutkan lagi.
Pagi itu, baru saja aku meletakkan tas di kursi. Agak terlambat karena jalanan macet mendekati sekolah. Bukannya amarah guruku yang terganggu karena kedatanganku di saat beliau mengajar, malah senyuman.
"Nora, bereskan lokermu ya. Tunggu kak Irina sama kak Lena di luar."
Anak-anak kelas tersenyum jahil semua, berpikir kalau aku dideportasi dari sekolah. Beberapa sudah tertawa kecil sambil menyembunyikan wajah. "Bu, memangnya Nora mau kemana?"
Guruku diam, tetap tersenyum. "Pindah kelas."
Banyak anak di sana tertawa, tapi ada yang mengusik perhatianku. Para pelaku utama perundungan, langsung melihatku dengan mata terbeliak. Tampak terkejut dengan kata-kata 'pindah kelas'. Ah, waktu itu aku clueless.
Tapi begitu aku tahu tujuannya, senyumku langsung tertarik lebar. Senang, sangat senang. Kali itu, aku sadar kalau kastaku sudah di atas mereka—anak-anak kelas Bahasa.
Iseng, ekor mataku melirik ke dalam kelas ketika berjalan bersama dua kakak kelasku. Tampaknya si maskot kelas berusaha keras untuk bersikap tenang. Matanya menerawang papan, dengan kerutan halus di dahinya. Untuk sementara, keceriaannya menghilang.
Aku menang! Aku menang! Dia kalah telak!
"Kelasmu di lantai tiga, dekat kelas kita."
Mendengar itu, bulu kudukku meremang seketika. Lantai tiga, katanya?
Kalau demikian, benar, kastaku akan meningkat drastis.
Tak lama, kami sudah sampai di lantai tiga. Meskipun selama ini tak punya teman, telingaku selalu peka tentang informasi apapun. Desas-desus entah di sekolah, kelas, atau bahkan lingkungan rumah, pasti aku tahu.
Mungkin, keturunan ibuku. Beliau juga begitu soalnya. Katanya, kelas-kelas di lantai tiga ini lebih dari julukan 'Kelas Unggulan'. Lebih dari itu, karena lebih cocok disebut Kelas VIP.
Kenapa bisa begitu? Karena ini kelas prioritas, yang biasanya dipakai oleh anak-anak orang kaya. Eh jangan salah. Walaupun kaya, mereka diseleksi ketat oleh guru. Mulai dari tes masuk, tes kesehatan, dan tes-tes lainnya yang tidak kupahami. Kelasnya ada 9, masing-masing jenjang kelas dan jurusan. Itupun kuota kelas terbatas, maksimal 5 orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece
Fanfiction"Kalian percaya, kalau Irina itu mati bunuh diri?" Ini adalah cerita tentang Irina, teman kami, yang meninggal tiba-tiba setelah acara perpisahan sekolah. Tidak jelas alasannya, ternyata ada surat bunuh diri. Namun, kekacauan kami bukanlah karena...