Aku dan Lena sungguhan menyusun rencana balas dendam itu dengan baik.Sebenarnya, aku hanya membantu. Justru Lena yang sangat ambisius dan bersemangat dalam merencanakan ini-itu. Aku tidak tahu apa sebabnya. Sepengetahuanku, bukannya Lena dan Irina itu sepasang sahabat yang sangat dekat?
Maka dari itu, aku tetap sangat menjaga pikiranku. Aku tidak boleh terlalu percaya dengan Lena. Karena bisa jadi, malah aku yang menjadi korban jebakan Irina dan Lena. Barangkali mereka berdua menyusun skenario sendiri di belakangku, untuk menghancurkanku.
Mulai dari Lena yang memintaku untuk mencetak foto skandal Irina. Kemudian, dia menyuruh adiknya untuk menempel foto itu di laman majalah dinding lantai satu. Aku tidak tahu sama sekali kenapa Lena mau melakukan itu.
"Win, kamu masih punya tali pramuka kan?" Aku mengernyit sambil jemariku masih menulis cerita karanganku sendiri.
"Masih," jawabku.
"Pake tali itu aja, sama tali pramukaku. Disambung gitu, hehe."
Jadi begini rencana jebakan Irina ala aku dan Lena. Ruangan ReVe, atau bisa juga disebut Ruang Belajar Irina, terletak di lantai dua tepatnya di belakang perpustakaan utama. Tetapi, aku dan Lena tidak tega untuk menodai ruangan cantik nan elegan itu. Tidak sampai hati untuk merusak citranya, sungguhan.
Irina biasanya tetap berada di Ruang Belajar, meskipun malam hari. Entah selarut apapun itu, dia lebih suka berlama-lama di ruang belajar dibanding rumahnya.
Sekitar hari Sabtu malam, aku berpamitan kepada mama dan Livia. Bilangnya mau menginap di rumah teman. Padahal, aku dan Lena berencana untuk menata latar belakang jebakan spesial untuk Irina.
Aku terkejut malam-malam, karena Lena saat itu memecahkan dua jendela lorong gelap itu dengan tangannya sendiri. "Tangan lo nggak sakit?! Ngapain dipecah, sih?"
Lena secara cepat menutup mulutku sambil mendesis, "Jangan keras-keras kalo ngomong". Aku maklum kalau Lena panik, aku sendiri panik juga sih, dan selain itu... Satpamnya keliling.
"Tangan gue sakit sih, tapi emang guenya yang goblok, ahahaha... Udahlah Win, gak usah terlalu dipikir. Jendelanya harus dipecah, biar nanti Irina jatuhnya gampang."
Aku mengerjap panik. Kata Lena di awal perencanaan jebakan, tidak akan ada peristiwa pencabutan nyawa atau pertumpahan darah. Tapi aku tak paham kenapa, tiba-tiba Lena ingin membuat Irina jatuh?
"Katanya nggak bakal ada yang mati?!" Tanyaku sambil berbisik lumayan keras.
"Emang nggak, Win. Santai aja! Di bawah, gue sama Joshua bakal siapin kasur buat dia. Irina ntar jatuhnya di atas kasur kok... Piece of cake itu mah!"
Setelah itu, dia memastikan bahwa pintu luar perpustakaan itu tidak sulit terbuka.
Kemudian, Lena sungguhan memasang patung manekuin, yang sudah dia hias sedemikian rupa dan seseram mungkin. Dengan replika darah yang berlebihan, rupa manekuin yang dicoret-coret dengan spidol permanen, tangannya diambil satu, dan juga rambut panjang nan kusut yang dipasang di atas kepala manekuin itu. Patung itu kupakaikan baju, sih. Baju lawas mama yang hampir saja beliau buang, kusobek-sobek lebih dulu terutama bagian lengannya.
Lihat, kan? Peranku cuma membantu.... Dan itu, tidak penting.
Tetapi lebih daripada itu semua, aku bersyukur karena aku bukanlah Irina.
Jadi mekanisme konsep awalnya adalah, Irina jelasnya akan melewati perpustakaan utama, menuju ruang belajar. Nantinya, dia dikejar oleh sesuatu yang jelasnya sudah dimintai tolong oleh Lena—sesuatu yang bertudung hitam. Seakan-akan itu adalah malaikat pencabut nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece
Fanfiction"Kalian percaya, kalau Irina itu mati bunuh diri?" Ini adalah cerita tentang Irina, teman kami, yang meninggal tiba-tiba setelah acara perpisahan sekolah. Tidak jelas alasannya, ternyata ada surat bunuh diri. Namun, kekacauan kami bukanlah karena...