Aku Menyerah [3c]

18 9 3
                                    


Song recommendation : Cold as Hell (Taeyeon)
__________________

Di penghujung semester genap ini, ekstrakurikuler Paduan Suara mengadakan perkemahan. Selain untuk memperingati anniversary ke-10 tahun, juga dalam rangka merayakan kemenangan kami di kompetisi nasional.

Lokasi perkemahannya, cukup membuatku takut. Di hutan, tapi sedikit dekat dengan tebing. Pelatih vokal kami memang sangat menyukai petualangan. Tapi cukup seram, mengingat kami masih SMP dan ini baru kali pertama bagi kami untuk berkemah di lingkungan liar yang berbahaya.

"Buset ya, kalian berdua. Tumben kompak." Lena meledek demikian sambil tertawa, membuatku berdecih. Tapi, dia tidak salah. Ini pertama kalinya dalam hidupku, bisa kompak dengan seorang Irina.

Irina tampaknya juga takut dengan tebing, meskipun wajahnya terlihat biasa saja. Buktinya, dia memegang lengan kanannya Lena dengan erat. Kalau aku, bagian mencengkeram lengan kirinya. "Diem, Len. Emang serem, nih."

Aku memilih untuk diam saja. Kami berdua mendekati Lena karena dua alasan. Selain takut, anak itu juga salah satu dari 8 orang yang membawa senter. Kemacetan dan hal-hal lainnya yang tak terduga, membuat kedatangan kami selarut ini.

Omong-omong, Lena bukan anak Paduan Suara. Dia adalah perwakilan Pramuka, yang memang ditugaskan oleh pihak sekolah untuk mengawasi jalannya perkemahan ini. Pelatihku juga tak keberatan rupanya, dengan pengawasan dari sekolah.

Perkemahan ini berlangsung selama 3 hari 2 malam. Kegiatannya cukup seru, tentunya melelahkan. Ketika menulis bagian ini, aku jadi ingat kalau dulu pernah menjadi manusia yang benar-benar manusia. Iya, banyak tingkah dan banyak kegiatan. Menyenangkan sekali.

Di waktu itulah, sedikit-sedikit Irina baik padaku. Ah, mungkin aku berlebihan. Setidaknya, tatapannya normal kepadaku.

Aku kira sih, begitu.

Tibalah waktu kami pulang dari perkemahan. Selepas membereskan tenda dan barang bawaan kami, aku menyandang ransel besar di bahuku. Kebetulan, waktu itu tendaku memang yang paling dekat dengan tebing. Geser sedikit, sudah jatuh. Jadi harusnya tidak heran, kalau besoknya ada kiriman nasi kotak di rumah kalian.

Namun, kami semua cukup beruntung. Berkat Tuhan tidak main-main kepada para ciptaan-Nya. Buktinya, kami menyelesaikan perkemahan dengan selamat sentosa. Berangkat sehat, pulangnya juga sehat meskipun capek.

"Eh?!"

Baru aku mau menyusul yang lain, dari belakangku ada yang menyandung kakiku. Sepertinya sengaja, tapi aku tidak tahu siapa. Namun tiba-tiba saja, badanku terpeleset—hampir jatuh. Tidak heran, karena tanahnya agak licin. Semalam sempat hujan memang.

Untungnya, ada ranting yang cukup kuat di sisi tebing. Tapi kalau terlalu lama bergelantung, nyawaku akan habis juga.

"Tolong! Tolong aku!" Jeritku sekuat tenaga. Ketakutanku semakin menjadi, ketika tak sengaja melihat ke bawah. Sungai dengan air terjun yang bersumber di seberang sana. Sangat cantik, tapi aku tak sempat mengaguminya.

"Aaaaaaah! Tolong! T-tolong!" Terlalu hening untuk berharap ada jawaban, akhirnya aku memilih diam. Keringat dan tangisku sudah tak terbendung. Perlahan aku terisak, menangis, ketika masih dalam keadaan tergantung begitu.

Tapi tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Bergesekan dengan dedaunan kering. Cukup bersyukur, waktu itu tidak hujan deras.

"Tolong! T-tolong akuuu! Aku hampir jatuh!"

Muncul wajah mungil yang kukenali sebagai Irina. Matanya terbuka lebar, seiring dengan bibirnya yang membuka lebar. "Windhy?!"

"Irina! Tolongin aku!" Perempuan itu kemudian terlihat panik, apalagi menyadari tangisku yang semakin menjadi-jadi. Dia tampak sibuk di atas sana, mungkin mencari ranting panjang.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang