Emosi [1h]

36 9 30
                                    


Sesampainya aku di kelas, bisa kulihat Dara sedang mengebut mengerjakan PR. Tapi, aku sedang tidak mood untuk ikut mengerjakan tugas bersamanya.

Dara kemarin, yang membuatku tampak begitu berdosa. Setelah membanting tas ranselku, aku menghentakkan kaki mendekatinya.

"Eh, Nora. Udah dateng lo?" Sambut Dara, sambil tersenyum.

"Berhati-hatilah, dengan yang dekat."

Sambil mengingat kalimat dari kak Irina itu, aku mencengkeram kerah seragamnya hingga sang empunya berdiri dari duduknya.

"Apaan sih?!" Bentaknya, tak mengerti.

Dara, kita kan sudah saling meminta maaf. Tapi aku minta maaf lagi, ya? Sungguh, aku memang sedang dilanda emosi yang tak terkendali waktu itu. Aku yakin, kalau kau membaca ini pasti tertawa.

Sepertinya pagi itu aku agak beruntung, karena teman-teman yang lain belum menampakkan presensinya.

"Jangan sok polos kamu, Dar!" Bentakku, pada siswi yang jelas lebih tinggi dariku. Tak peduli walau leherku capek, karena mendongak ke Dara. "Kamu kan, yang ngefoto aku terus kamu kasih ke Mina?!"

Dara tertawa paksa. "Lupa ya, lo? Gue ikutan mabuk waktu itu, anjir." Tak kuasa menahan marah, kulayangkan satu hantaman ke pipi Dara. Tidak keras, tapi cukup membuat Dara kaget.

"Sejak kapan lo main hantam?!" Tanya Dara, tampak masih menahan emosi. Padahal aku yakin. Dengan kemampuannya dalam berkelahi dan secara kekuatan fisikpun, Dara bisa mendorongku hingga tak sadarkan diri.

"Sejak lo yang bikin gue mirip pelakor!" Teriakku, yang tanpa sadar mengundang kedatangan siswa lain.

Dara tertawa lagi. "Ya kan gue cuma ngenalin! Toh sebenernya lo nggak pacaran kan, sama Mark?!" Sebal dengan tanggapannya, kulayangkan lagi hantaman ke wajah mulus Dara.

Dan benar saja, perempuan itu sudah emosi. Dara kemudian mendorongku hingga terjatuh. "Itu bayaran, lo udah ganggu gue waktu ngerjain tugas."

Tapi kelakuan Dara setelah itu, cukup membuatku tercengang. Dia merogoh kantong depan tasku dengan kasar. Karena aku sudah bisa berdiri dan menghampirinya, Dara menepisku agar menjauh sebentar.

Tangan rampingnya meraih sebuah barang dari sana. Cincin dengan batu zamrud asli, yang pas di jari manisnya. Kenapa bisa ada di tasku? "Lo yang ambil cincin gue?!" Tanyanya dengan tatapan garang padaku.

Jujur, aku tidak tahu apa-apa. Dari kemarin aku sudah mengecek tasku dengan sungguh. Dan kesalahanku waktu itu, karena tak menyadari keberadaan cincin di tasku.

Aku menggeleng heboh, membuat ekspresi kesal Dara semakin meningkat. "Goblok!" Bentaknya untuk yang terakhir kali, lalu meninggalkan kelas. Lebih tepatnya, meninggalkan aku dengan pikiran yang semakin berkecamuk.

Ah, kenapa bisa terjadi sebegininya sih?

Sebenarnya, salahku apa?

-*•*-

Sejak itu, hubunganku dengan Dara semakin merenggang. Kami masih sering kumpul di ReVe Room, tapi tidak berniat untuk saling berbincang. Ah, jangankan demikian. Saling menyapa saja tidak.

Omong-omong, aku lupa memberi jeda. Sebenarnya, segala kekacauan ini sudah menghampiriku di semester ganjil kelas 11. Aku dan Dara sudah menginjak bulan Oktober, tak lama lagi UAS.

Tak terasa juga, kalau sampai bulan itu aku sedikit memiliki dendam ke kak Irina. Karena dengan keberadaannya, seluruh fokus keluargaku berpihak padanya. Pasti kalau kak Irina berada di posisiku sebagai keluarga, orangtuaku juga akan bahagia.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang