Malam itu [1j]

28 8 11
                                    


Happy Reading!

Jangan lupa jejak bintang dan komentarnya ya:)
___________________

Tepatnya di suatu tanggal 14 Februari, atau hari kasih sayang, semua anak di sekolah mendapat sebatang cokelat. Tidak terkecuali aku sebenarnya, tapi cokelat-cokelat itu berakhir kuberikan pada tetanggaku. Karena aku pribadi, bosan makan cokelat terus menerus.

Seketika rindu Ferdi. Dia itu, sangat suka makan cokelat. Dan cokelat-cokelat ini, cukup menyenangkan. Karena lebih mahal dari pemberian Ferdi. Hanya saja, pasti Ferdi bisa makan cokelat-cokelat ini dengan lahapnya.

Di hari itu juga, kami berkumpul di ReVe Room. Saling bertukar cokelat, mirip seperti tahun lalu juga. "Ah iya, aku mau kasih undangan."

"Nikah sama siapa lo, Rin? Samuel?" Tanya kak Windhy, yang sontak membuat kami semua tertawa termasuk kak Irina. Tapi, kak Lena hanya melihat perempuan itu dengan wajah kesal.

Haha, aku masih penasaran dengan kak Lena sampai saat ini. Dia memang perempuan yang sangat ramah, berkawan dengan semua orang, hanya saja auranya masih misterius. Aku tidak tahu, sampai sekarang kak Lena masih begitu atau tidak.

Astaga, ayo kapan kita semua bertemu. Pasti kak Irina di sana juga senang sekali.

"It's my 18th birthday... Buat perayaan kelulusanku sama Lena juga sih." Jawab Irina dengan suara yang lembut.

Tapi jujur, waktu itu aku tak bisa menerima undangan itu. Rasanya, ganjil saja. Kebetulan aku masih berada di lingkup sosial yang tidak bersahabat, tetapi masih terheran semua orang di sini—terlebih Irina—tampak baik-baik saja. Padahal desas-desus perihal foto ciumannya masih ramai diperbincangkan saat itu.

Namun, tentu saja aku gengsi kalau tidak datang. Toh juga untuk menghibur diri sendiri. Dan lagi ini malaikat penolongku lho, yang mengundang. Tentu saja aku datang.

-*•*-

Pesta yang memang hanya diperuntukkan kami berlima itu, berjalan menyenangkan. Meski kalau ditafsirkan, kami hanya menghabiskan waktu untuk bercerita dan berkaraoke. Iya, meski rumah Irina sangat besar dan mewah tetap saja suasana hangat terasa kental waktu itu.

Biasanya, kak Irina itu ikut dalam berbagai candaan dan cerita. Tapi waktu itu, dia hanya tersenyum. Sambil menyesap teh dan menyantap kue kering. Diajak menyanyipun, ekspresinya datar. Tapi, justru hal itulah yang lucu.

Tiba-tiba saja, aku merasa sesak waktu mereka ulang ceritaku ini. Dia lucu, tapi aku menyesal telah mengatakan demikian.

Seusainya pesta dan makan malam di rumahnya—yang entah bagaimana, mungkin hanya ada Irina tanpa keluarganya di sana—kami semua berniat pulang. Aku dan Dara diantar kak Windhy. Kak Lena pun sama saja, dia pulang naik motornya.

Namun wajah kak Irina berhasil kuingat sekarang. Ekspresinya sedih, padahal senyum. Bibirnya kering, padahal tadi juga banyak minum dan aku yakin dia memakai lipbalm. Kulitnya memucat, tampaknya dia sedang tidak sehat. Lantas, kenapa dia mengadakan pesta saat itu?

Mungkin waktu itu aku memang tidak paham. Namun sekarang, sudah paham. Orang kaya itu, katanya memang suka mengadakan pesta. Tidak jelas memang, tapi perlahan akupun menyadarinya.

Perasaanku masih tidak enak, padahal waktu itu aku bersenang-senang. Seakan aku dan Dara melupakan hal yang sempat menghentikan pertemanan kita—padahal, setelah pesta itupun dia masih tidak menganggap keberadaanku. Entahlah, mungkin dia masih sakit hati sehabis kutuduh yang aneh-aneh.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang