-*●*-
"Hahaha, Irina tuh nggak serem, Win." Lena membalas gerutuanku di suatu hari, sambil menepuk punggungku pelan.
Waktu itu, kami baru selesai pelajaran olahraga. Kami duduk-duduk di pinggir lapangan. Ada sosok yang masih ada di tengah lapangan, Irina, yang tengah berlari sekuat tenaga dari pos 3 ke pos 4. Iya, kami sekelas bermain kasti. Sambil meluruskan kaki sehabis berlari, aku memang otomatis melihat Irina. Mengamati pergerakannya, tanpa sengaja dengan mata yang tajam juga.
Lena tahu, dia juga yang memulai pembicaraan ini. Sedikit informasi, dia adalah teman pertamaku di SMP. Selain itu, dia yang paling dekat juga. Faktor penyebabnya, mungkin karena kami berada di satu kelas yang sama selama 2 tahun penuh.
"Gak serem apanya? Gue cuma diem dan bernapas lho padahal. Tapi dia udah ngelihatin gue tajem. Dia tuh kaya ngeliatin teroris, njir!" Lena hanya tertawa ngakak. Jelas dia tidak paham perasaanku, karena Irina kelihatan paling hangat kalau bersama Lena.
Dalam hal inipun, aku tidak akan protes bila ada sekelompok orang yang mengira Irina itu menyukai sesama jenis.
"Ya sabar aja lah, pokoknya. Ntar lama-lama juga santai Irina-nya." Omongan Lena tetap seperti biasa, menenangkan hati. Jadi, tak heran kalau di kelompok ReVe ini, Lena yang paling kalem. Memang anaknya begitu.
"Amin aja deh, ya. Gue juga pengen lulus sekolah nanti dengan tenang, tanpa ada yang benci-benci gitu ke gue." Aku kemudian menghela napas berat. Entahlah. Mungkin efek kelelahan mengejar target nilai pelajaran, sehingga akhirnya memilih untuk ambis mendekati Irina. Sekarang, rasanya ingin kuledek wajah Windhy waktu itu.
"Tapi, kayanya mustahil. Gak tau lagi deh, lama-lama gue nyerah ngadepin Irina." Lanjutku pelan, yang diangguki Lena.
"Kenapa dari sekian banyak alasan galau, Irina banget yang lo galauin?" Lena kemudian bertanya, aura ramahnya semakin menguar. "Kan temen lo, ya banyak. Galau amat gitu, disinisin Irina?"
Sambil memainkan cetikan bolpoin yang entah kenapa terbawa, aku cuma bisa tersenyum simpul. "Ya, gak tau. Posisi gue kadang, berasa kaya anjing peliharaan orang. Dia suka berisik waktu ada satu tetangganya lewat. Plot twist, tetangganya nggak suka anjing jadi nggak pernah nyapa."
...akupun lupa itu anjing siapa. Kalau tak salah, waktu aku masih kecil. Ada dulu, tetanggaku yang memang suka sinis ketika melihat anjing. Siapapun anjing yang lewat, pasti langsung dia sinisin.
"Nah, kalo gitu kenapa lo tetep ngotot mau temenan sama dia? Pasti ada alasan dong, Win." Lama-lama, Lena (secara tak sengaja) memojokkanku. Aku rasanya makin enggan bicara. Percayalah, perumpamaan tentang anjing peliharaan tadi juga cuma hal random yang lewat di otakku.
"Kita belum sedeket itu, ya. Lama-lama, bakal ngerti kok." Aku hanya tersenyum simpul, sedangkan Lena memberi senyum kecut. Baru kusadari, waktu itu kata-kataku terdengar kejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece
Fanfiction"Kalian percaya, kalau Irina itu mati bunuh diri?" Ini adalah cerita tentang Irina, teman kami, yang meninggal tiba-tiba setelah acara perpisahan sekolah. Tidak jelas alasannya, ternyata ada surat bunuh diri. Namun, kekacauan kami bukanlah karena...