tw // blood, abussive, violence, scars, manipulative, toxic, slight gxg 🌈
_______________________Keadaan kami berdua berangsur membaik. Tapi, aku tak lagi mendengar Irina minta maaf secara langsung. Padahal sebelum kita dekat lagi, Lena yang berulangkali mewakilkan Irina minta maaf. Lantas, apa benar Irina menyesali perbuatannya? Dia hampir membunuhku di jurang, dan dia terlihat...terlalu santai.
Ah sudahlah, mungkin aku hanya terlalu terbawa perasaan. Toh pada akhirnya, kita berdua rupanya bisa benar-benar menjadi kawan. Paling tidak, dia tak lagi sentimental bila berhadapan denganku. Tidak ketus, tidak ada juga tatapan membenci yang selama ini dia berikan padaku.
Harusnya aku sudah bersyukur. Iya, kan? Punya teman dekat satu lagi, seharusnya sudah cukup.
"Maksudmu? Raya masih nge-bully adikmu?" Waktu aku cerita tentang adikku, Irina sedang mengerjakan tugas. Lagi-lagi, dia terlihat sangat santai. "Masa sih?"
"Iya, rin. Besok ke rumah gue deh, yuk. Gue tunjukin luka-luka goresan di tangannya Livia."
Irina kemudian melirikku sambil cemberut. "Nggak dulu deh. Iya udah, nanti aku coba bilangin Raya."
Tapi aku tidak yakin. Di hari-hari berikutnya, luka lebam dan goresan yang Livia dapat bahkan lebih banyak. Pernah kapan hari, lututnya sampai luka. Dan herannya, adikku itu masih cerewet dan berisik. "Gapapa tau! Tadi aku udah bisa bogem kak Raya! Give me the crown!"
"Bakal gue kasih mahkotanya, kalo kamu bener-bener nggak ditonjok lagi sama si Raya itu. Ngerti?" Jujur, aku jadi gemas sendiri.
"Kak, galak banget sih?" Aku cuma memandang Livia penuh iba. Sebenarnya, yang kena dampak parah itu tidak hanya Livia.
Tapi aku juga. Tenang, Irina tidak merundungku-apalagi Lena. Bukan teman-temanku, sungguh.
Kau tahu siapa?
-*●*-
Buagh!
Bruk!
"Sini, tanganmu." Segera setelah kusodorkan tanganku, ayah menggoresnya dengan pecahan vas. "Paling nggak, ini yang adikmu rasain. Dan kenapa kamu diem aja, waktu Livia digituin?"
Ah sebentar, rasanya aku tidak bisa bernapas tiba-tiba. Kurasakan tanganku masih tremor, keringatku juga keluar padahal hari ini hawanya dingin. Dan jantungku berdegup cukup kencang. Mendadak, aku tidak mengantuk. Astaga, insomnia lagi?
Mimpi buruk itu datang lagi barusan, ketika baru saja kuselesaikan satu bab penuh novelku yang akan rilis bulan depan. Seperti biasa, aku bermimpi buruk segera setelah kuselesaikan suatu bab, yang menurutku paling lama kugarap.
Dan aku sangat lelah, tapi aku malah tidak bisa tidur. Lagi-lagi terima kasih, Alenna. Kau sudah membuatku merasakan trauma, untuk ke sekian kalinya.
Asal kalian tahu, bahwa ayahku itu juga termasuk orangtua yang abusif. Tak sekali dua kali, dia pulang dalam keadaan mabuk. Tenang saja, justru ibuku tidak disentuh olehnya-samasekali. Namun karena aku sejak kecil mengidap sleepwalking dan insomnia akut, segala keinginannya untuk berlaku kasar dilimpahkan kepadaku.
Oh, bukan hal yang berbau seksual, sih. Hanya dipukuli. Dan karena aku sudah sangat-sangat terbiasa, jadilah aku kebal. Ibu dan adikku tidak pernah tahu, tidak juga aku mau menceritakannya pada mereka. Biarlah masalah perundungan adikku segera selesai. Aku? Tenang saja, bisa sembuh sendiri kok. Toh, aku sangat pandai menyembunyikan luka goresan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece
Fanfiction"Kalian percaya, kalau Irina itu mati bunuh diri?" Ini adalah cerita tentang Irina, teman kami, yang meninggal tiba-tiba setelah acara perpisahan sekolah. Tidak jelas alasannya, ternyata ada surat bunuh diri. Namun, kekacauan kami bukanlah karena...