Siapa pengirimnya? [1g]

34 10 28
                                    


Seperti yang sudah kalian duga, kalau setelah itu hubunganku dan Joshua merenggang. Kami jadi tak sedekat dulu. Meski di kelas, kelihatan sekali kalau dia berusaha menjauh dariku.

Dara, Naya, dan Hendry hanya saling berpandangan. Mungkin terpikir, kalau kami sudah putus. Cih, padahal pacaran saja tidak.

Esok harinya, tentu aku berniat untuk menanyakan hal ini secara langsung kepada Mina. Beruntung aku menyimpan nomornya, jadi mudah untuk mengajaknya bertemu.

Tatapan gadis itu masih dingin kepadaku, tentu saja. Tapi, wajar saja. Kalau aku di posisi Mina, mungkin aku bersikap seperti itu.

"Udah rebut pacar gue, mau ngapain lagi?"

Aku terdiam, tiba-tiba teringat akan niat licikku. Walau masih berupa 'rencana' tetap saja sudah pernah aku pikirkan.

"Gue minta maaf, Mina." Mendengar itu, Mina tertawa miris. Tatapannya seakan menyiratkan : Gue salah apa sih sama lo? Kok pacar gue direbut?

Padahal tentu bukan itu yang mau kulakukan. Sekarang, giliranku untuk meledek diriku sendiri waktu itu.

Tentu saja, niat semua orang itu baik. Tapi hanya sedikit, yang menyadari kesalahannya. Munafik sekali kalau aku menilai diriku waktu itu tidak salah. Karena sebenarnya, dekat dengan lebih dari satu orang lelaki itu sudah salah. Apalagi, di kasus itu aku memang menyukai keduanya.

"Iya, itu salah gue karena mabuk dan malah deketin pacar lo." Mina memutar bolamatanya malas, bersikap seakan kesalahanku benar-benar tidak termaafkan.

Padahal kan, aku tidak sengaja!

"Tapi kalo boleh tahu, foto ini lo dapet dari mana?" Mina terdiam, masih dengan kerutan di dahi dan mulutnya mengerucut sebal.

"Pentingnya apa?"

"Ya, paling nggak gue harus tahu untuk berhati-hati sama siapa." Mina kemudian meneguk es kopinya, lalu bersandar lagi di kursi.

"Gue dikasih Gaby."

Aku tertegun sejenak. Sepertinya, Gaby itu tidak berada di les-lesan yang sama denganku. Lalu, kenapa Gaby bisa dapat foto itu?

Aku menghela napas, berusaha berpikir keras. "Oke, makasih banyak Min. Gue janji, untuk nggak ganggu-ganggu pacar orang."

Tapi kalau dipikir lagi, aku memang tidak tahu kalau Mark sudah punya pacar, kan? Sepertinya, waktu itu aku memang melewatkan petunjuk yang besar.

Iya, buktinya aku malah menghentakkan kaki menuju kelas Gaby.

-*•*-

"Habis curi kursi gue di kelas VIP, rebut pacar gue, lo mau ngapain lagi? Kangen gue tonjok, ya?"

Aku menghela napas sewaktu mendengar 'kata sambutan' itu. Kalau dulu aku mengira keceriaan Gaby telah menghilang, ternyata aku yang salah. Buktinya, raut wajah itu semakin segar. Dia tampak bahagia semakin hari.

"Gue mau tanya."

"Haha, tanya apaan? Heh, pelakor. Dengerin gue, ya." Gaby menjeda perkataannya sesaat. Ejekan dan ledekannya itu masih saja membuat hatiku sakit. Padahal seharusnya, aku sudah kebal.

"Gue ingetin lagi, gue nggak suka sama orang yang memang nggak layak buat dapet tempat bernapas di sini."

Tentu aku ingat perkataannya, seumur hidupku. Biasa kan, orang memang suka secara tidak langsung mengingat kata-kata yang menyakitkan hatinya.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang