Cemburu [1i]

28 9 21
                                    


Hello!

Janlup komentarnya yaa... Ga wajib vote kok, hehe^^
_________________________

Hanya duduk diam, tiba-tiba saja aku sudah berada di semester genap kelas 11. Tidak sih, kebetulan memang waktu itu terlalu banyak hal yang mengejutkan. Mungkin sesuai dugaan kalian, bahwa pertemananku dengan beberapa anak jadi renggang.

Terutama dengan Dara. Gadis itu masih saja menatapku sinis dan enggan berbicara denganku. Asal kalian ketahui saja, kami berbaikan baru setahun yang lalu. Tak sengaja bertemu di kafe, lalu berbincang-bincang ringan. Karena kurasa sempat, kuucapkan minta maaf sekalian.

"Haha, iya gapapa. Waktu itu gue kaya kekanakan banget. Maafin juga ya."

Mungkin, kalau kak Lena dan kak Irina membaca ini akan bahagia.

Sekarang, kembali ke semester genap.

Meskipun aku renggang dengan Dara, ternyata aku malah semakin dekat dengan kak Irina. Kakak kelasku yang satu itu memang baik sekali. Seringkali kami dibelikan sepotong kue red velvet.

"Biar semangat belajarnya." Padahal, yang mau ujian kan kak Irina.

Kami juga lebih sering berbincang. Dalam kasus ini, aku tak tahu bagaimana kak Irina dengan kalian. Hanya saja, waktu itu kami terbilang cukup dekat.

Bahkan hari-hari itu, kak Irina dan kak Lena tidak terlalu dekat seperti biasa. Mungkin memang sibuk ujian masing-masing, demi tujuan kuliah yang berbeda. Mungkin, iya kan?

Atmosfer kelas XI-Bahasa juga jadi berbeda. Yang biasanya suasananya seru, akrab semua, hubunganku dengan mereka semacam ada jaraknya. Iya, aku jarang diajak berbicara dengan mereka.

Tapi tak masalah. Selama kak Irina masih suka mengajakku mengobrol, aku tidak akan kesepian.

Mungkin, hal itu juga yang membuatku tidak merasakan sesuatu. Ketika melihat kak Irina dengan keluargaku, mereka semua tampak bahagia. Tertawa gembira, bercanda gurau, dan Irina tampak seperti kakakku.

"Iya, benar kata Irina. Belajarmu harus lebih giat lagi, ya."

Lagi-lagi, 'benar kata Irina'.

"Ah, kalau Nora mencoba seperti Irina, pasti kecapekan nanti."

Lagi-lagi, seakan aku diremehkan.

"Sudah datang, nak? Gimana kabarnya Irina?"

Lagi-lagi, aku dianaktirikan. Jadi singkatnya, era di mana semuanya tunduk ke kakakku—yang enggan kusebut namanya itu—telah usai. Berganti mereka mengelu-elukan Irina, layaknya anak anjing kepada tuannya.

Maaf kalau kasar, tapi demikian kenyataannya. Bahkan aku kira adikku tidak ikut-ikut, ternyata dia di garda terdepan. "Kak Nora nggak bisa soal ini, kan? Tanyain ke kak Irina, dong." Ferdi jadi tak terlalu bergantung padaku.

Jadi rasanya, aku benar-benar sendiri. Percuma juga. Sekeras apapun aku mencoba untuk menarik perhatian mereka, tetap saja mereka hanya mempedulikan kedatangan kak Irina.

Seharusnya aku senang, dengan begitu aku tidak perlu repot-repot untuk membantu mereka. Iya, waktu itu aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Karena memang kak Irina itu baik.

"Memang Irina kadang kaya gitu anaknya." Ujar kak Lena suatu hari, ketika aku membolos kelas dan memilih masuk ke ReVe Room.

Perempuan itu seakan tahu, apa yang membuatku galau. Antara aku ingin menjauhi kak Irina, tetapi aku juga suka padanya.

"Dia memang suka curi perhatian. Makanya, jangan heran kalo akhirnya kamu dicuekin sama keluargamu." Ujarnya pelan, masih terfokus penuh dengan soal-soal di depannya.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang