"Maksud lo, kak? Kenapa tiba-tiba telepon gue, cuma buat bilang ini deh? Lo sendiri ke mana?"Lena di seberang sana cuma terdiam. Seenaknya sendiri menuduhku. "Kamu ya, Dar. Pokoknya kamu tuh, yang udah ngedorong Irina. Ngaku dong, yang jujur!"
"Tapi gue jujur ini, cuk! Gue bahkan kagak tahu apa-apa, terus lihat Irina tergeletak mati di sana! Lo bisa ga sih, jangan nuduh-nuduh gue mulu?!"
Entahlah. Kak Lena itu, yang paling jarang berbicara denganku. Paling mengajakku ngobrol kalau aku bertanya suatu materi pelajaran ke dia. Atau, kadang random sih.
Seperti contohnya...
"Irina pesen katering ke mamamu, ya?"
"Kenapa ngejauhin Nora, deh? Anaknya kan, baik."
"Nggak mau main ke rumahku juga, Dar?"
Dan masih banyak lagi. Tapi ya, itu-itu saja topik obrolan kita. Namun sebenarnya, dia itu satu-satunya anak ReVe yang suka melihatku dengan tatapan menghakimi. Seakan aku dekat dengan Irina adalah sebuah dosa besar di matanya.
Dari titik ini saja, aku sudah tahu kalau Lena itu menyayangi Irina. Iya, sayang yang tidak wajar bagiku. Dan itu kata Irina, Lena adalah teman baiknya?
Kasihan sekali terjebak friendzone. Tapi asal kalian tahu, ini adalah resiko dari rasa suka yang tidak dikonfirmasi.
"Kalo gitu, kamu ngapain teriak-teriak kaya orang gila? Kamu di sana, cuma ngediemin Irina. Sama aja pembunuh tahu, nggak?!"
Mungkin, waktu itu aku juga melewatkan satu petunjuk yang besar. Tapi aku keburu syok, kaget, dan terkejut. Jelas sempat terpikir olehku, memangnya kak Lena ada di mana sampai tahu aku ngapain saja sewaktu lihat mayat Irina?
Ah, tapi pemikiran itu segara terbantahkan. Buktinya, Lena langsung datang dari halaman belakang-bersama penjaga parkir. Dia sempat menyenggol bahuku sedikit, sampai aku meringis dan memilih menjauh. Iya, tidak dianggap.
Pasti si Lena sudah tahu teriakanku ketika melewati gerbang depan sekolah. Pasti dia naik motor. Alih-alih langsung masuk lewat gerbang utama, dia tetap bersikukuh tidak mau parkir sembarangan dan berakhir memarkirkan motornya di belakang-agak jauh dari Gua Maria. Tipikal Lena.
Tapi tetap dengan kepribadian Lena yang tampaknya membenciku, si kakak kelas menyempatkan diri untuk mencaci maki lewat panggilan telepon. Kurang lebih, seperti itulah analisisku.
Memang aku tidak suka Irina, tapi kematiannya tetap mengejutkan. Bagaimanapun, kak Irina itu kelewat baik-meskipun kutahu kalau dia sok.
Di awal, kukatakan bahwa Irina adalah orang yang sok pahlawan dan sok baik. Itu benar, sangat benar. Karena dia bahkan tidak peduli dengan kemampuan dirinya sendiri, secara perlahan pun juga membuat dunia seolah berpusat pada dirinya sendiri. Jadinya, membuatku muak.
Irina itu membuat seolah-olah dirinya adalah tokoh utama di dunia ini. Mungkin termakan film superhero atau kisah-kisah perdongengan, sehingga dia sukanya membantu orang dan berpikir bahwa "oh, I'm the kindest person on this f*cking earth!".
People pleaser, tapi haus pujian.
Ya begitulah, Irina.
-*•*-
Di kelas, yang tahu bagaimana traumaku hanya Naya. Dia yang menemaniku terus hari itu, dia juga yang memberiku minum. Biar tenang, katanya. "Itu Nora, dikasih donatnya juga, nggak?"
Naya bisik-bisik, kelihatannya mau jaga hati Nora semisal aku melarang.
Iya, aku memang sengaja beli donat sekardus besar untuk anak ReVe. Kemarin lusanya baru dapat gaji keenam ceritanya. Mau minta maaf ke Nora di hari itu juga sebenarnya. Tapi karena masih patah hati, jadi tidak mood untuk bersua dengan anak ReVe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece
Fanfiction"Kalian percaya, kalau Irina itu mati bunuh diri?" Ini adalah cerita tentang Irina, teman kami, yang meninggal tiba-tiba setelah acara perpisahan sekolah. Tidak jelas alasannya, ternyata ada surat bunuh diri. Namun, kekacauan kami bukanlah karena...