The Emptiness [3h]

14 3 0
                                    

tw // mention of death
_________________________

"Win, kamu nggak mau jenguk papa?"

Kalimat itu, membungkamku cukup lama. Semenjak papa di rawat di rumah sakit, pertanyaan itu berjuta kali mampir di benakku. Antara ingin dan tidak, aku dilema. Tapi, bukankah rasanya aku menjadi perempuan yang semakin terasa durhakanya?

"Ya udah, hari Sabtu habisnya aku ekskul."

Entahlah, aku bingung terhadap perasaanku sendiri. Pria itu—yang baik mama ataupun Livia masih menyebutnya 'papa'—udah kehilangan tempatnya di hatiku. Iya, sampai sekarang kesimpulannya tetap seperti itu.

Di suatu pekan di akhir bulan September, akhirnya aku ikut mama ke rumah sakit. Livia tidak ikut, karena dia ada kerja kelompok di rumah temannya.

Di sana, posisi mata orang itu terpejam. Aku tidak tahu menahu, entah dia memang sedang koma atau tidur. Sepertinya mama juga tidak paham. Aku duduk sendiri di samping ranjangnya, sedangkan mama masih mengobrol dengan dokter di ruangannya.

Kulihat, dahi orang itu berkerut. Seperti dirinya ketika sehat. Beliau memang tipikal orang yang suka berpikir keras. Hampir tidak bisa diajak bercanda. Dan iya, orang itu memang mudah marah.

Aku mengamati orang itu dengan ekspresi datar. Sangat datar, mungkin Livia akan takut kalau melihat wajahku. Aku tidak pernah menunjukkan ekspresi semacam mati rasa dan mati hati di depan publik. Hanya kepada orang itu, ekspresi yang istimewa ini kuberikan.

Sesekali aku berdiri, hanya untuk memastikan keadaannya. Tiap kali melihat matanya yang terpejam, aku selalu terbayang sorot matanya di hari kejadian itu. Dan semakin sering kulihat sosoknya, semakin memuncak amarahku.

Baru kusadari aku tidak bisa membencinya, meskipun berulangkali aku mengaku benci. Setitik pun, aku hanya bisa marah. Bukan marah ke dia, melainkan marah kepadaku sendiri. Aku kecewa pada dirinya, tetapi marah padaku sendiri, dan akhirnya aku tidak bisa membenci siapapun di dunia ini...

....termasuk orang semenyebalkan Irina.

Entah kenapa, jauh di lubuk hatiku masih ada setitik bagian yang masih memanggil orang itu sebagai papa.

"Windhy... Kenapa kamu nggak bisa benci orang itu? Dia jahat sama kamu, dia sudah berjuang keras untuk merusakmu. Kamu seharusnya bisa membencinya, bodoh!"

Tak sekali dua kali benakku berkata demikian. Memberi petuah kepada hatiku, memerintahnya agar membenci pria itu. Tetapi, hatiku sangat nakal. Dia terus memberontak.

Mencegah hal yang tidak-tidak terjadi, aku memilih keluar ruangan dan meninggalkan pasien itu sendirian. Aku berjalan menuju toilet, sambil berpikir bahwa mamaku terlalu lama.

Melihat diriku di pantulan cermin, aku cepat-cepat membasuh muka. Menepuk pipiku perlahan, menyemangati diri agar tidak lemah di depan sosok yang konon disebut ayah.

Tetapi, sesampainya di kamar orang itu aku terkejut. Sebuah monitor yang merekam detak jantungnya itu menunjukkan garis lurus berwarna hijau neon. Sebelum kutinggal, garisnya masih ada bentuk kurvanya.

Alias, tunggu...

Apakah kata lainnya...

...beliau meninggal?

Seketika aku panik, berlari ke sebuah tempat di mana suster banyak berkumpul. Aku berusaha berbicara dengan jelas, bahwa monitor itu menunjukkan garis lurus. Tak jauh dari sana juga terdapat ruang dokternya orang itu.

Kutata sebaik mungkin degup jantungku, iringan napasku. Kemudian kuketuk pintunya perlahan. Aku membuka mulutku, menyela pembicaraan dokter dengan mama.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang