Sebenarnya, aku masih belum bisa membedakan. Apakah aku ini sudah benar-benar sehat mentalnya? Atau jangan-jangan, aku hanya mencoba baik-baik saja padahal masih sering depresi ketika diteror?Entahlah, sampai detik inipun aku masih bingung. Tapi sepertinya, kalau aku lebih membiasakan diri bisa benar-benar sembuh. Kuharap begitu. Karena aku tidak mau merepotkan siapapun.
Omong-omong, Sandra benaran sudah pulang. Aku senang, tidak sendirian lagi hehe. Dia minta maaf padaku, padahal sebenarnya aku yang salah. Iya, kan aku yang merepotkan Sandra. Aku juga yang membunuh keluargaku.
Sampai saat ini, sebenarnya aku juga masih bertanya-tanya. Alasan tepat kematian massal mereka itu, apa benar karena garam? Tapi kenapa bisa semendadak itu, ya?
Lalu masih terheran juga. Irina itu...benar bunuh diri kan? Aku sering tidak yakin, tapi keberadaan surat tulisannya itu memaksaku untuk percaya.
Tapi rupanya, yang penasaran tidak cuma aku. Lena juga, buktinya mengirim surel itu. Entahlah, tapi sepertinya surel ini juga bentuk baru sebuah teror. Bedanya, ini diberikan tidak hanya kepadaku. Melainkan kepada kami bertiga—Nora, aku, dan kak Windhy.
Jadinya agak tenang, ada temannya.
Tunggu, aku baru tahu. Sekarang Nora tinggal di apartemen sebelahku, ya? Tadi pagi waktu membuang sampah, kulihat dia keluar dari unit sebelahku. Terlihat terburu-buru, mungkin dia terlambat kuliah.
Kapan-kapan, kita harus makan bareng. Masakanku enak, pasti Nora suka. Kalau kak Lena pulang ke Indonesia, atau kak Windhy ketemu aku, boleh ikut juga kok.
Ah, kebetulan aku memilih gap year. Keterbatasan biaya, dan sepertinya bekerja memang lebih dibutuhkan. Istilahnya aku ini anak sebatang kara, tidak ada orangtua. Lalu kalau bukan aku yang bekerja, siapa lagi?
Aku bukan bekerja di kantor, toko, atau restoran. Melainkan kerja di rumah, sesuai dengan perintah bos. Kalau disuruh pindah, ya pindah. Pekerjaanku cukup memantau dari komputer. Sekali-sekali turun lapangan, kalau ada masalah urgent. Gajinya besar sih, difasilitasi kalau perlu pindah-pindah juga.
Tapi jujur saja. Pekerjaan ini, membentuk diriku yang lebih baru lagi. Menyenangkan sekali, bekerja secara rahasia. Sangat menantang, aku suka.
Memang, semua yang pernah kulalui memberi dampak cukup besar kepadaku. Tidak salah, kalau aku semakin berhati-hati dalam bertindak dan berkata. Kita tidak pernah tahu, apa yang ada di benak masing-masing orang. Kita juga tidak tahu, apa perasaan orang.
Mungkin terdengar tidak nyambung, tapi perasaan kehilangan ini juga membuatku semakin dewasa. Dari aku dulu yang cuek, suka bodoamatan, sekarang bisa baperan begini.
Ah, mungkin ini namanya pubertas.
Pada intinya, terima kasih kalian semua. Aku rindu, sangat rindu.
-*•*-
Sesak.
Hanya itu yang bisa kurasakan. Panas, sesak, gelap, dan bau anyir. "Ayo jalan!" Gertakan itu terdengar dari belakangku. Suaranya berat dan galak, terasa menyeramkan.
Aku perlahan melangkahkan kaki. Aku sendirian, kalaupun ada teman juga tidak kelihatan. Sangat gelap, aku benci. Jelas tidak tahu keberadaanku, tapi setiap langkah rasanya leherku tercekat.
Lebih tepatnya, aku dicekik dari belakang.
"To...tolong..."
"Tolong aku."
Hanya lirihan kecil itu yang mampu keluar dari bibir. Tapi, tentu tidak ada penjahat waras yang mau menuruti keinginan korban. "Dara... Kamu kenapa?"
Hah? Suara itu?
Lagi-lagi, benar, itu Irina. Lagi-lagi, kenapa dia ada di sini? "Jangan lupa sama aku, ya."
Kalau boleh, aku ingin marah. Kalau boleh, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Dan kalau boleh, aku berharap tidak pernah menemukan mimpi segelap itu lagi.
Tidak, kalian tidak salah baca. Memang benar. Ketika aku sudah bersyukur akan keadaan diriku yang kian lama makin membaik, rupanya mimpi itu masih datang.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi rasanya, lagi-lagi aku harus mendoakan Irina. Wah, belum cukup ternyata doaku selama ini.
Namun rupanya, kutukan mimpi buruk itu tidak hilang juga. Masih rajin mendatangiku, sampai detik ini, hingga aku menyerah. Aku sampai tidak memahami diriku lagi, aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa akan hal itu.
Entah apa yang menyebabkan mimpi buruk ini. Tetapi sebenarnya, tiap malam aku berdoa untuk ketenanganku dalam tidur dan ketenangan jiwa Irina—ketenangan keluargaku juga.
Aku menyesal. Mungkin benar kata orang, Irina meninggal karena berkawan denganku. Aku sangat menyesal, sebejat itu pikiranku sampai dulu sempat memberikan dosis garam yang banyak kepada keluargaku. Aku ini, rupanya pembawa sial.
Aku menyesal, sungguh menyesal.
Jadi kumohon dengan sangat.
Hentikan, segala kutukan mimpi buruk ini.
-*●*-
Berhati-hatilah dengan segala hal yang kau perbuat di detik ini.
Karena yang namanya karma, itu nyata. Kutukan itu bisa menghantuimu selamanya. Dan ucapan maaf, belum tentu berharga menurut jiwa orang.
Jadi, berhati-hatilah.
Damara Pratiwi.
-*●*-
[CHAPTER 2 : END]
Huwe, maaf kurang memuaskan:"
See you on another chapters...
Gue usahain biar ga hiatus2 lagi hehe ✌️
Okay, bye dear!
Have a nice day^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece
Fanfiction"Kalian percaya, kalau Irina itu mati bunuh diri?" Ini adalah cerita tentang Irina, teman kami, yang meninggal tiba-tiba setelah acara perpisahan sekolah. Tidak jelas alasannya, ternyata ada surat bunuh diri. Namun, kekacauan kami bukanlah karena...