Benci [3g]

9 3 2
                                    

contains : daddy issues, also slight gxg! 🌈

2k+ words.
____________________________

Aku sangat bersyukur. Benar instingku, Livia tidak apa-apa. Papa tidak menyentuh Livia ketika beliau masih berada di fase 'tidak waras'. Aku sangat bersyukur akan hal itu. Sesampainya aku di rumah, Livia langsung memelukku erat.

"Kak, papa habis mabuk berat ya? Bau banget!"

Aku sontak saja tersenyum lembut. "Besok, papa nggak kaya gini lagi kok, sayang."

Malam itu, aku benaran cerita kepada mama. Tentang siang itu, bagaimana kelakuan papa. Wanita paruh baya kesayanganku itu menangis terisak. "Mama yang bodoh. Mama tahu kalau papa itu kadang kalau nggak terkendali, bisa jadi separah itu. Harusnya, mama nggak samasekali mengijinkan kamu dan papa tinggal sendiri di rumah..."

"Mama... Minta maaf ya, Win?"

Di malam itu, kami berpelukan bertiga-juga bersama dengan Livia.

Dan benar saja. Keesokan harinya dan berlangsung terus menerus, aku dan papa tidak pernah berada dalam satu rumah sendirian. Beliau memang sudah lama berhenti dari pekerjaannya, maka dari itulah mama yang menggantikan peran sebagai pencari nafkah.

Tapi betapa beruntungnya aku. Cakra sering tiba-tiba ke rumah. Bertamu, atau mengajakku untuk pergi bersama. Entah ke toko buku, jalan-jalan kuliner di pinggiran jalan, dan lain sebagainya. Maka dari itulah, aku sendiri juga jarang berada di rumah selama liburan itu.

Kala itu, Livia memang sudah selesai semua UKK-nya. Namun kasihan sekali, dia masih harus ikut classmeeting yang sebenarnya tidak terlalu penting. Kalau Livia tidak masuk sekolah, absennya akan dikosongi. Seusainya Livia menerima rapor kenaikan kelas, dia libur juga.

Anak itu juga hampir tidak pernah berada di rumah menemani papanya. Dia punya banyak teman, jadi dia sering pergi ke rumah kawan-kawannya. Lalu menghabiskan beberapa malam menginap di rumah teman.

Ah, andai saja temanku sebanyak teman Livia. Tapi liburan akhir semester kala itu, cukup menyenangkan bagiku. Hampir sebulan penuh kuhabiskan waktu untuk menikmati hari libur bersama Cakra.

Andai saja, waktu bisa diputar kembali. Akan kuputar waktu itu lagi. Dan mungkin, aku tidak akan bosan bersama Cakra.

-*•*-

Di suatu hari, papaku terlihat sakit parah. Muntah-muntah sehari penuh, hingga wajahnya terlihat sangat pucat. "Windhy! Tolong, telepon ambulans!"

"Papa kenapa?!"

Mama geleng-geleng panik sambil terus memperhatikan suaminya itu. "Mama nggak tahu! Tolong ya, sayang? Telepon ambulans."

Setelah papaku pergi dibawa ambulans, beserta mamaku ikut sebagai wakilnya, entah kenapa aku malah tersenyum. Apakah ini karmanya papa? Bisa jadi.

Ah, Windhy pasti sudah gila.

Livia masih tertidur pulas di kamarnya. Terakhir aku cek beberapa menit yang lalu, Livia masih tertidur.

Tetapi tiba-tiba...

"Kak, rame banget? Kenapa?"

Iya, adik kesayanganku itu terbangun dan langsung bertanya. Biadab benar petugas ambulans yang menyalakan sirenenya keras-keras itu. Gara-gara mereka, adikku terbangun. Kasihan sekali dia, jadi tidak bisa bangun siang di hari liburnya.

Waktu itu, aku tidak tahu harus bercerita dari mana. Jadi, yang kulakukan adalah samasekali tidak menjelaskan apapun pada Livia. Aku tersenyum ramah, sambil mengelus-elus bahunya.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang