Kecewa [3f]

16 4 1
                                    


cw // violence, sexual harrasment, self-harm, suicide, self-defense, murder act, delusional 🔞

-*•*-

Ketika aku masuk SMA, semua tampak baik-baik saja. Aku pisah kelas dengan Irina dan Lena, karena kami berbeda kelas jurusan. Mereka mengambil kelas Bahasa, sedangkan aku sendiri mengambil kelas IPS. Seingatku, di klub ReVe memang hanya aku yang mengambil kelas IPS.

Dan entah kenapa, padahal keluargaku bukan keluarga orang kaya, tetapi masuk ke kelas VIP. "It's because, you're my friend." Gurau Irina kala itu, sambil menyantap batagor yang baru dia beli. Masih panas, jadi ketika ia gigit hampir tidak bisa dia kunyah. Masih mangap-mangap begitu.

Hanya aku dan Lena yang tahu sisi Irina yang semacam ini. Kebanyakan, orang-orang tahunya Irina itu elegan dan sangat anggun. Padahal sebenarnya, dia sama saja seperti kami. Bedanya, dia selalu mengajak kita berdua untuk menjauh dari lingkungan yang ramai. Biasalah, tidak ingin citra diri tercemar hanya karena kecerobohannya.

"Duh makanya, ditiup dulu dek."

"Dak dek dak dek. Aku ini lebih tua, ya."

Berantem lagi, seperti itulah sebenarnya hubungan Irina dan Lena. Di hari pertama, kedua, hingga kira-kira satu bulan setelah aku menginjak bangku SMA, semua tampak baik-baik saja. Aku juga sesekali mengecek keadaan Dara.

Sesekali, aku iseng pergi ke minimarket tempat Dara bekerja. Walaupun sebenarnya, jaraknya cukup jauh dari rumah. Livia kuajak juga kadang-kadang, kalau dia tidak ada tugas kelompok atau kegiatan ekstrakurikuler. Dan senangnya, aku sudah bisa naik motor sendiri.

"Papa, pinjem motornya ya." Ucapku simpel, sambil mengambil kunci kontak. Tapi kali itu, kusadari keadaan tidak seperti biasanya. Cuma ada aku dan papa di rumah. Mama masih kerja, Livia juga masih menjalani UKK di sekolahnya.

Karena di sekolah hanya ada classmeeting, aku membolos. Setahuku Dara juga membolos, maka dari itulah aku ingin berkunjung ke minimarketnya.

Papa sedang baca koran di ruang tamu dengan secangkir kopi di meja. Papa tidak bergeming ketika aku mengambil kunci motor. Tetapi begitu aku pergi ke luar rumah, tanganku dipegang erat oleh beliau. "Mau kemana?"

Salivaku terteguk, saking terkejutnya akan perilaku papa saat itu. "Nemuin Dara, pa..."

"Nggak boleh. Papa sendirian di rumah."

"Oke, terus?"

Tak sengaja, aku ingat tentang seberapa seringnya papa memukulku. Tetapi, bagaimanapun juga dia tetap papaku. Aku bisa berbuat apa? "Ikut papa,"

"Loh, pa..." Tanganku ditarik kencang oleh papa, sampai kembali masuk ke rumah. "Papa! Aku tadi kan udah bilang, mau pergi nemuin Dara?!"

"Iya, tapi nggak boleh. Kamu harus nemenin papa."

Aku merinding, langsung takut. Tiba-tiba tercium aroma alkohol dari jarak sini. Papa.... Mabuk? Di siang bolong? Jangan-jangan, minuman tadi bukan kopi.

Aku tidak tahu apa salahku, sampai aku dipaksa masuk ke kamar mama dan papa. Di sana, aku dipukuli lagi. Memang cuma tangan, tapi sangat sakit. "Kamu itu nggak boleh durhaka! Harus nurut sama papa! Masuk neraka kamu, kalo ninggalin papa sendirian! Dosa besar!"

"Papa... Windhy minta maaf..."

Tapi ketika aku berusaha berdiri, dia malah memojokkan aku di pintu lemari mereka. Aku kaget, terkejut, papa mendekatkan wajahnya padaku. Nafasnya sangat terasa kuat menghampiriku. Aroma rokok dan juga minuman alkohol, bercampur di sana.

"Kamu... Sayang sama papa kan, Win?"

Pertanyaan itu membuatku merinding, aku tidak berani menjawab. Mata papa berkaca-kaca. Dia mengepalkan tangan lalu memukul keras pintu lemari. "Jawab! Kamu anak sialan, durhaka juga sama papa!"

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang