Entahlah [2g]

13 6 5
                                    


"Gaby, lo bisa jangan nge-bully anak orang, nggak?"

Waktu itu, aku diajak Gaby untuk makan di sebuah kafe. Kangen katanya, yang anehnya tidak kurasakan. Memang semenjak SMA, aku hampir tidak pernah menemuinya lagi meskipun satu sekolah. Kelas VIP itu, cukup padat jadwal pelajarannya.

Di saat itu juga, aku baru tahu kalau Gaby dan Joshua sudah putus. Sayangnya, Dara sebagai admin akun gosip yang merangkap biro jodoh ini, masih tidak sudi untuk membayangkan salah satu kawannya punya gebetan cupu!

Gaby di depanku menaikkan satu alisnya, sambil menyeruput jus stroberi. "Nge-bully gimana maksud lo?"

Aku menghela napas pelan. Memang, aku dan teman-teman SMPku itu sama saja. Kami semua, suka berakting. Buktinya, perempuan itu pura-pura tidak tahu. "Itu, Nora."

Gaby seketika tampak menyeramkan, lalu tertawa terbahak-bahak. "Oh, bocah itu. Kenapa? Gara-gara dia temen sekelas lo?"

Mau tak mau, aku mengangguk. Karena memang, aku tidak ada alasan sebenarnya. Mau jadi apa? Pahlawan dadakan? Haha, bukan tipeku. "Sejak kapan lo ikut campur beginian, Dar?"

"Bukannya mau ikut campur. Lo tuh temen gue-"

"Coba aja lo pernah datang ke kelas bahasa umum." Tukas Gaby, mendadak galak anaknya. "Ya intinya, siapa yang dapat bertahan itu pemenangnya."

Ha? Maksudnya?

"Lo tuh tampang cantik doang bisa masuk VIP ya, Dar. Mana bisa sih, ngertiin rasanya jadi anak kelas umum? Dan lagi, gue masih temen kata lo?"

Tunggu, aku baru sadar sesuatu. Anak ini, adalah satu-satunya teman dekatku di SMP yang mengerutkan dahi ketika dengar aku masuk kelas VIP. Dia terlihat marah, ini juga alasan dari menjauhnya kami berdua selain karena jadwal pelajaran. Sampai sekarangpun, kita tidak saling sapa.

"Andai lo nggak masuk di kelas VIP, gue nggak akan bully anak pinter, Dara. Asal lo tahu, anak pinter biasanya kalo diganggu itu bisa ngamuk. Kalo ngamuk, keluar jelek dan barbarnya. Terus akhirnya, nilai akademik bisa turun gegara nggak fokus belajar. Biar apa? Biar dia nggak masuk ke kelas VIP."

Aku tercekat, dan Gaby benar. Di SMP dulu juga ada kelas VIP. Tapi baik aku, Naya, atau bahkan Gaby, tidak pernah masuk ke kelas itu. Kami selalu berpikir, kalau anak-anak VIP itu memang isinya orang kaya atau orang jenius. Hanya dua kriteria itu yang layak masuk, bagi kami bertiga-termasuk Gaby.

Aku bukan keduanya. Jadi mungkin menurut Gaby, aku juga tidak layak. Ya, tidak salah sih.

"Dan lagi ya,"

Aku diam saja, menunggu kata-kata Gaby selanjutnya. "...gue itu, nggak suka sama orang yang tidak layak berada di sini... Diem aja ya, kalo nggak mau gue jadiin korban. Gue tuh benci sama lo, nggak setia kawan soalnya."

Kemudian, perempuan itu pergi. Untung sih, sudah dibayar. Kafe mahal soalnya. Dan lagi-lagi, sama seperti kejadian keluargaku meninggal secara massal, aku merasa tertuduh. Lagi-lagi, aku yang salah.

Fakta bahwa aku troublemaker memang tidak bisa diganggu gugat. Iya, kan?

-*●*-

Beberapa minggu setelahnya, selain aku harus memutus hubungan pertemanan dengan Gaby, rupanya ada anak yang mau putus pertemanan denganku juga.

Sedihnya, dia itu anak yang kubantu dengan mengenalkan lelaki keren kepadanya. "Kamu kan, yang ngefoto aku terus kasih ke Mina?!"

Ha? Apa maksudnya? Foto yang mana?

Tapi tak sampai lima detik berpikir, aku langsung mengerti. Tawa sarkas itu keluar dari bilah bibirku. "Ngapain juga gue kasih ke Mina, bangsat? Lu kira, gue segila apa?"

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang