Boomerang [3e]

18 3 0
                                    


Setelah menonton adegan yang teramat patut dipertanyakan itu, aku kembali mengikuti mereka. Berujung ke sebuah arah dan ruangan, yang membuatku tak berhenti mengernyitkan dahi. Tentulah aku heran.

Wah, ada ya tempat dengan letak tak biasa seperti ini? Aku kira cuma ada di film-film fiksi.

Tentunya aku masih mengikuti mereka dari jauh. Ingin memberi kejutan ketika mereka sudah duduk tenang di dalam sana, begitu maksudku. Ketika mereka masuk, aku tak langsung masuk. Kuberi jeda beberapa detik, lalu kubuka pintu dengan agak ngegas.

"Kamu ngikutin kita ya?!" Bentak Irina, segera setelah aku melangkah cepat ke dalam ruangan. Jujur saja, melihat wajahnya waktu itu membuatku tertawa renyah. Sampai sekarang kalau aku mengingat-ingat ekspresinya, juga masih tertawa.

Gimana ya? Terlalu meme-able.

"Masa lo gak tau sih, Rin?"

Kali ini giliran aku yang sedikit terperanjat. Lena, sepeka itu anaknya. Wajahnya terlihat biasa, seakan sedang membicarakan peristiwa yang normal saja. Ekspresinya datar, sambil melirik kami berdua bergantian dengan sinis.

"Dih, yang kaget Irina doang berarti?"

"Kapok tuh, gagal prank!"

Dahi Lena mengernyit heran ketika mendengar ledekan Irina. "Kata gue sih nggak gagal, Rin. Kan targetnya Windhy emang ngagetin lo doang." Mendengar itu, langsung kuulas senyum penuh jenaka ala aku.

"Jadi, udah ya, nggak usah rahasia-rahasiain tempat ini ke gue. Oke?"

"Awas aja kalo ada orang selain kita masuk sini. Aku keluarin kamu dari yayasan ini. Paham?"

Aku tidak menjawab. Karena bagiku, setia di sebuah instansi atau yayasan itu gunanya apa? Aneh, masa hal yang seperti itu saja dijadikan ancaman. Tidak logis, sama sekali.

Omong-omong, ini waktu yang sama dengan kedatangan Dara di ruangan ini. Anak itu pintar sekali, sangat kreatif untuk mencari celah dan masuk ke sini. Ya, sesuai harapanku sih.

Sebenarnya, sejak Dara datang ke rumahku, mencari bantuan untuk memecahkan kode aneh buatan Irina, barulah sore harinya kudengar kabar dari mamaku. Adiknya mengalami kecelakaan yang cukup parah. Dan Irina memanggil Dara hari itu, kalau boleh jujur tampak sedikit mencurigakan. Ah, tapi aku punya bahan apa untuk gibah? Toh, bukan urusanku.

Itu, adiknya tampaknya bukan korban perundungan. Atau... Ah, dasarnya aku memang tidak tahu faktanya. Tapi mendengar berita tentang Sandra, aku jadi takut.

Livia itu anak yang kerap kali diganggu juga. Bagaimana kalau para perundung itu punya ide yang sadis? Entahlah, mendorong Livia ke tengah jalan hingga tertabrak mungkin?

Tetapi beruntunglah, bayangan menakutkan itu tidak sampai terjadi. Paling tidak, Livia tak sampai menginap di rumah sakit. Aku bersyukur untuk hal itu.

-*•*-

Tak lama setelah itu, keluarga Dara meninggal semua-kecuali dirinya sendiri. Sangat tidak mungkin Dara pelakunya, aku percaya dia. Aku tidak mengerti semuanya, sebelum dia sendiri yang datang padaku dan menceritakannya ketika di sekolah.

"Ya aku, kaget dong jelas. Satu meja sama aku, tiba-tiba mati massal begitu." Dia terlihat murung. Meskipun waktu itu satu sekolah menyemangati dirinya, Dara tampak belum terima untuk disemangati. Kendati demikian, dia tidak menangis.

Itu keluarganya. Seisi rumah dan relung hatinya telah berada di keabadian. Dia sendirian, hanya bersama Sandra. Sangat terlihat raut penyesalan, berhasil menguasai dirinya. "Kalau Tuhan memperbolehkan, aku mau ikut ke sana. Tapi, Sandra gimana kalau nggak ada aku?"

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang