Reveal [3i]

12 3 0
                                    

tw // suicidal thoughts, mind manipulation, mention of death

(better using dark mode)
_________________________

Cakra mengalami kecelakaan yang cukup parah. Di meja operasi, dia meninggal.

Aku tidak paham, dia itu siapa? Siapa dia? Apa sebenarnya dia dalam konteks ini? Sungguh, pikiranku langsung kosong saat itu.

Siapa dia? Cakra Hendrawan.

Dia kenapa? Kecelakaan.

Kapan? Apakah kecelakaannya parah?

Dua pertanyaan terakhir dalam benak itu, tetap kubiarkan berakhir dengan tanda tanya. Aku memutuskan untuk membolos, sejak mengetahui kabar kekasihku itu. Paling tidak satu hari.

Semuanya terjadi terlalu cepat. Mulai dari diriku yang duduk diam menunggu kedatangan Cakra, kemudian menerima telepon dari tantenya Cakra, sampai aku datang ke ruang operasi dan mendapati keluarga Cakra menangis semua.

Cakra, Cakra, dan Cakra. Entah sejak kapan, pikiranku isinya hanya dia.

Sekitar satu bulan setelah aku benar-benar merelakan kepergiannya, aku sempat bersilaturahmi ke rumah tante Mira. Beliau bilang, bahwa Cakra ditabrak oleh sebuah mobil sedan. Mobil itu dan motor Cakra sama-sama mengebut di tengah hujan. Jalannya licin, sehingga tabrakan mereka cukup keras.

Tak heran, kemarin memang hujan deras dan cukup lama. Terutama di waktu-waktu yang agak dekat dengan jadwal kencan kami berdua.

Di hari di mana Cakra dimakamkan, aku ikut ibadahnya. Di depan altarnya, terdapat potret tampan Cakra yang berbingkai frame kayu. Kebetulan, di ruangan itu belum ada siapa-siapa. Aku mendekati altar itu, menatap ke dalam bolamata Cakra yang ada di foto itu.

Tatapannya teduh seperti biasa. Tersenyum, walaupun terkesan datar. Entah kenapa, justru melihatnya malah membuatku menangis keras. Terasa ada campuran antara sedih dan marah. Marah karena Cakra meninggalkanku, sedih karena mulai saat itu aku sendirian.

Entah apa yang terjadi, mungkin tanganku tak sengaja menyenggol lilin di sebelah foto Cakra. Kemudian lilinnya tergeletak di atas meja, dan aku tidak paham sejak kapan lilin itu melalap habis meja itu.

Aku panik, tetapi kala itu otakku mati. Jadi, yang kulakukan hanya mengamankan diriku dengan berlari. Aku pergi, melaju, dan kabur dari ibadah itu.

Sepertinya, Windhy memang sejak dulu adalah pengecut.

-*•*-

"Lo tahu nggak, yang nabrak Cakra siapa?" Di siang bolong, Lena bertanya padaku.

Tentu saja aku tidak tahu. Kalaupun aku tahu, aku harus memastikan orang itu mendapat karmanya. "Nggak tahu gue, Len..."

"Kalo misal nih ya, misal... Pelakunya ternyata orang terdekat lo, gimana Win?"

Seketika, pikiranku kembali kosong. Aku terhenyak, memikirkan segala kemungkinan. "Motifnya apa coba?"

"Ya nggak tahu... Ga sengaja kali?"

Seharusnya, mulai sejak itu pikiranku langsung terbuka. Seharusnya aku mulai memikirkan bahwa bisa jadi memang benar perkataan Lena...

Tapi siapa? Kenapa? Haruskah sampai senekat itu?

Atau jangan-jangan...

"Emangnya, lo punya dugaan, Len?"

Meski begitu, aku harus selalu waspada. Tidak boleh sama sekali aku salah target. "Punya... Tapi nggak tahu ya, lo bakal percaya atau nggak..."

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang