Sasha mulai memasangkan kain hitam sebagai penutup mata Yesa. Lalu, ia menempatkan dirinya sendiri di depan Yesa. Pria yang menyandang sebagai sahabat Sasha ini berdebar, ini pertama kalinya Yesa akan memeluk Sasha dari belakang selama proses memasak berlangsung.
Sasha mengarahkan kedua tangan Yesa untuk bertumpu di tempat yang biasa Mama Sasha gunakan untuk menyiapkan bahan atau membuat bumbu. Pergerakan itu otomatis membuat Yesa selangkah lebih maju dan kini dadanya sudah menempel di punggung Sasha. Sayangnya, Yesa tidak bisa melihat bagaimana posisi mereka sekarang. Yesa jelas menyayangkan hal itu.
Sekali lagi, Yesa kembali tersentak dengan pergerakan Sasha. Bagaimana tidak ? tiba-tiba Sasha mengaitkan kedua tanganya dan membuat tangan Yesa semakin menempel di pinggang Sasha. Jadi posisinya kedua tangan Sasha mencengkeram baju Yesa, tepatnya di pinggang. Yesa gugup setengah mati, namun ia harus tetap tenang agar proses syutingnya berjalan dengan lancar.
"Oke, pertama-tama. Ambil cobek, kita bikin bumbu manual diuleg. Geser tiga langkah ke kiri, terus lo ambil cobeknya." ucap Sasha sembari mengarahkan Yesa.
Yesa mengikuti apa yang diarahkan Sasha.
"Nggak-nggak, tangan lo kejauhan. Kanan dikit!"
"Yesa! agak ke kanan! lo malah makin naik. Agak turun terus ke kanan, nah itu. Ulekannya juga sekalian diambil."
"Sekarang kupas bawangnya,"
Yesa terkejut, "Sha, ini gue tutup mata apa nggak bahaya ngupas bawang pake piso ?" protes Yesa.
"Yaudah pake tangan aja ngupasnya, nggak usah pake piso," balas Sasha.
Setelah mengupas bawang putih dan bawang merah, sekarang saatnya menghaluskan bumbu tersebut dengan cobek.
"Lo uleg ini sampe halus," perintah Sasha.
Yesa hanya bisa menuruti apa yang dikatakan Sasha. Ia ingin segera menyelesaikan challenge ini. Posisi mereka saat ini sangat tidak aman untuk Yesa.
Saat mencoba mengulek, Yesa sempat kesusahan karena matanya yang tertutup membuat ia tidak leluasa untuk mengerjakan sesuatu.
"Kenapa nggak pake blender aja sih, Sha. Gue pegel," keluh Yesa tanpa disadari menumpukan dagunya di bahu Sasha.
Sasha juga tidak menyadari perlakuan Yesa, ia terlalu fokus memperhatikan tangan Yesa yang berusaha menghaluskan bumbu tersebut. Dengan cara memukul pelan apa yang ada di cobek.
Tiba saat Yesa memukul pelan cabai rawit, tanpa Yesa ketahui air yang ada di dalam cabai keluar. Hampir mengenai wajah Sasha jika gadis itu tidak memundurkan kepalanya hingga mempertemukan kedua pipi mereka.
Sasha membeku, ia baru sadar jika Yesa menumpukan dagu di pundaknya. Tak dapat dipungkiri jika jantungnya juga berdebar. Namun, dengan cepat Sasha menolak itu. Perasaan aneh yang tiba-tiba muncul, ia segera menolaknya.
"Kenapa, Sha ?" tanya Yesa yang terdengar sangat dekat di sebelah kanannya.
"Enggak, itu tadi air cabenya nyiprat hampir kena muk--"
"KENA MUKA LO ?!" teriak Yesa panik, sebelah tangannya yang menganggur meraba wajah Sasha. Membuat Sasha semakin berdebar.
"Yesa lo apa-apaan sih! jangan teriak di kuping gue juga kali ! sakit nih," protes Sasha mengalihkan.
Ini sangat tidak baik untuk kesehatan jantung Sasha, mungkin itu tadi memang gerakan reflek Yesa. Sasha memakluminya.
"Kalo udah selesai diulek, pindahin bumbu halusnya ke mangkok kecil. Ada di sebelah kanan lo tuh. Agak ke atas dikit."
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [Completed]
General Fiction〖˒ first collaboration 〗˒ with nctzen's author ღ ➥ general fiction ; slice of life , college life , friendship. ✧ yesa alfidiaz dan upayanya mencari setitik warna dalam kehidupan