Yesa kembali ke kontrakannya bersama dengan beban pikiran yang terus saja bertambah. Kedua adiknya, lalu Cindy. Entah mengapa nama Cindy terus terbersit dalam benaknya.
Yesa berhenti di depan pintu.
“Masa gue suka sama dia sih?”
“Suka sama siapa lo?”
Yesa terkejut dengan suara Harsa yang tiba-tiba menggelegar di belakangnya.
Tidak sendirian, ternyata ada Jean juga yang bersamanya.
“Anjir gue kaget, Harsa!”
Harsa terkekeh geli lalu menangkap Yesa dan merangkulnya seperti biasa.
“Lagian lo kayak orang sinting ngomong sendiri depan pintu. Mana ngomongin suka lagi. Suka sama siapa lo? cie...”
Yesa melepaskan diri dari Harsa.
“Nggak. Lo salah denger. Rakha nemenin Jenan jaga Kian?”
“Iya, besok giliran gue sama Harsa. Atau lo besok free nggak? Gantian temenin Jenan.” Kali ini Jean yang bersuara.
“Bisa, tapi dari siang. Gue ada kelas pagi soalnya.”
“No prob. Gue ke kamar dulu,” pamit Jean.
Selepas kepergian Jean, Yesa pun bergabung dengan Harsa duduk di sofa ruang tengah. Melepas penat sama seperti temannya.
“Abis jengukin adek lo?” tanya Harsa.
“Hm..”
“Dia kalo masih sama kayak waktu gue nemenin lo ke sana, mending nggak usah jengukin lagi deh. Durhaka bat jadi adek.”
Andai lo tau gimana gue ninggalin mereka waktu masih pada kecil-kecil, kayaknya kata-kata itu buat gue deh, Sa.
“Nggak apa-apa, Sa. Mau gimana pun, dia tetep adek gue. Gue juga udah kasih alamat kontrakan ini ke dia. Pasti nanti suatu saat dia bakal ke sini kalo udah bebas.”
Harsa mengangguk.
Meskipun dalam hati Yesa tak yakin adiknya mau kembali padanya atau tidak.
***
“Cindy, ada kunjungan.”
“Sering banget ya kamu dapet kunjungan? Heh! cepet sana, seperti biasa.. makanannya buat kita!”
Cindy merotasikan bola matanya malas. Muak dengan tahanan lain yang terus memaksanya menerima kunjungan dari Yesa. Jika bukan karena makanan yang membuat mereka berhenti memukulinya, mana mau dia menemui Yesa?
“Gue laper, mana makanannya?” itu adalah kalimat pertama yang Cindy lontarkan begitu melihat Yesa duduk manis di ruang kunjungan.
“Boleh, sini. Duduk. Gue siapin. Lo makan di sini. Gue temenin.”
Mendengar itu, Cindy segera melayangkan protesnya.
“Apaan? nggak. Gue mau makan di sel aja.”
Yesa menggeleng tetap memaksa Cindy makan di hadapannya.
”Waktu gue cuma satu jam di sini. Jangan buang-buang waktu. Cepet makan.”
Terpaksa, Cindy menerima makanan yang sudah Yesa siapkan untuknya. Sembari makan, ia terus menanyakan perihal Yesa yang sering mengunjunginya.
“Lo ngapain dateng ke sini terus? Lo bukan keluarga gue.”
Yesa melipat tangannya di dada.
“Iseng doang. Dan tujuan gue masih sama. Pengen tau apa motif lo nyelakain Kian.”
Cindy berhenti sejenak.
“Kalo gue jawab, lo nggak bakal datang ke sini lagi?”
“Ya.”
“Oke, gue jawab. Gue suka sama Jenan udah lama banget. Gue udah berusaha deketin dia dari secara halus sampe gue rela dicap cewek gatel sama cowok-cowok kampus.”
“Kecuali gue. Karena gue sama sekali nggak tau tentang lo. Desas-desus tau dikit sih,” sela Yesa.
“Lanjut nggak nih?”
“Iya, iya, lanjut.”
“Gue udah berkali-kali nembak Jenan, dan yang gue dapetin cuma penolakan dari dia. Sampe akhirnya dia milih cewek miskin yang kerja di cafe. Nggak level banget sumpah.”
Yesa menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Sorry, nih. Dibandingkan sama lo sekarang malah nggak level an lo daripada Kian.”
Cindy membanting sendoknya.
“Gue selesai. Mending lo pergi aja kalo mau bacotin tentang cewek miskin itu.”
“Eh? Kok marah sih? Gue nggak bermaksud...”
“Mana jatah makan gue yang lain. Gue males digebukin lagi kalo balik nggak bawa makanan.”
Yesa tiba-tiba panik, dengan reflek ia berdiri dan memeriksa kondisi Cindy. Diraihnya kepala Cindy untuk mendekat ke arahnya.
“Lo dipukulin? Ada yang sakit? Ini bekas pukulan mereka, ya?” Yesa mengusap ujung bibir Cindy yang dihiasi luka lebam dengan ibu jari.
Akibat perlakuan Yesa, Cindy mematung sejenak. Sudah lama ia tak merasakan diperhatikan seperti ini. Terakhir kali saat masih duduk di bangku SMA. Jujur, Cindy sangat merindukan saat-saat dimana ia diperhatikan, disayang, dan...
“Lo nggak usah sok khawatir sama gue. Inget! lo bukan siapa-siapa di sini. Jangan pernah dateng ke sini lagi. Gue harap ini yang terakhir.”
Cindy meraih paper bag lain yang terlihat masih ada banyak makanan.
“Jangan pernah ke sini lagi. Dan, gue titip salam buat Kian. Semoga dia cepet mati.”
© 2021, karayouuu
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [Completed]
General Fiction〖˒ first collaboration 〗˒ with nctzen's author ღ ➥ general fiction ; slice of life , college life , friendship. ✧ yesa alfidiaz dan upayanya mencari setitik warna dalam kehidupan