## 29

8 1 0
                                    

Di tengah Yesa mengikuti mata kuliah, tiba-tiba ponselnya berdering.

Nomor kantor?

“Bu, saya ijin angkat telepon sebentar ya? Ini penting.”

Setelah mendapat ijin, Yesa segera mengangkat telepon yang diketahui dari kepolisian. Nomor itu adalah nomor kantor polisi tempat di mana Bagas ditahan.

“Apa? adik saya dikeroyok tahanan lain? Ah iya, baik. Saya segera ke sana.”

Yesa berlari meninggalkan kuliahnya. Tidak peduli jika ia harus mengulang tahun depan, yang terpenting sekarang adalah adiknya yang terluka parah dan dilarikan ke rumah sakit.

Sesampainya di sana, ia segera mencari kamar inap tempat adiknya dirawat.

“Anggrek B nomor 12. Anggrek B nomor 12...”

Tanpa mengetuk pintu, Yesa masuk ke dalam ruang inap yang berisi beberapa pasien juga beberapa polisi yang menjaga adiknya.

“Bagas...”

“Adik Anda terlibat perkelahian di dalam sel tahanan, tolong nasehati dia. Kejadian seperti ini jangan sampai terulang kembali. Atau ini akan berdampak di masa hukumannya.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

“Beberapa polisi akan berjaga di luar ruangan.”

Yesa mengangguk, lalu menggumamkan terima kasih sekali lagi karena mereka telah membawa adiknya ke rumah sakit.

“Bagas, lo sadar sama apa yang udah lo lakuin? Lo mau hukuman lo makin berat?” tanya Yesa penuh penekanan.

“Mereka yang mulai duluan, Mas.”

“Nggak peduli siapa yang mulai duluan, lo bisa kan jaga sikap di sana? 5 tahun nggak sebentar, Bagas. Gue mati-matian cari cara biar hukuman lo bisa lebih ringan seenggaknya ngurangin masa tahanan. Dan lo seenaknya cari masalah?”

Yesa hendak pergi meninggalkan Bagas, “Kalo lo punya keinginan buat cepet bebas, diem, dan bertahan bentar aja. Gue masih usahain lo cepet bebas. Gimanapun lo, lo tetep adek gue.”

Sekarang gue sakit aja, Mas Yesa nggak mau nemenin.

***

“Yesa lo kemana aja sih? Pergi nggak bil—”

Yesa terduduk lemas di bangku taman tempat janjiannya bertemu Dava.

“Yesa, you okay?

No, i'm not. Gue harus apa biar masa tahanan adek gue dikurangi? Mau ngasih duit, kerjaan gue aja cuma barista di cafe.”

Dava yang juga tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa mengusap pundak temannya. Ingin membantu seperti apa selain menguatkan temannya?

“Gue pulang ke kontrakan dulu, Dav. Mau ikut anak-anak nemenin Jenan ke rumah sakit.”

“Oh iya. Hati-hati.”

Yesa bergegas pulang ke kontrakan karena baru saja Rakha mengiriminya pesan.

***

Malam hari tiba, setelah menyelesaikan pekerjaannya di coffeeshop, Yesa segera bersiap ke kantor polisi. Ah lebih tepatnya ke rumah tahanan. Seperti biasa, ia akan menitipkan makanan untuk Bagas dan juga satu lagi untuk Cindy. Untung saja ada polisi yang berbaik hati mau menolongnya menyampaikan titipan untuk mereka.

Setelah itu, ia tak langsung pulang. Melainkan mampir ke danau sekedar untuk duduk dan kembali memikirkan bagaimana caranya meringankan hukuman Bagas.

“Uang kuliah, uang kontrakan, biaya hidup sehari-hari. Sekarang udah nggak ngonten, semua itu mulai susah.”

Yesa membuka ponselnya, membuka folder galeri. Masih banyak foto Sasha di sana.

“Sha, kalo gue suka sama orang lain..gimana? Rasanya percuma juga bertahan suka sama lo. Yang notabennya pacar temen gue sendiri.”

“Andai waktu itu, gue nggak denial

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Andai waktu itu, gue nggak denial. Pasti kita udah pacaran ya sekarang? Belum tentu juga sih, soalnya lo udah anggep gue kayak sodara lo sendiri. Miris ya, gue terjebak friendzone gini.”

Malam itu Yesa menghabiskan waktunya untuk sekedar mencurahkan isi hati dan juga semua beban yang ia pikul pada alam. Kembali seperti sebelumnya, ia kembali sendirian di saat sulit seperti ini.

Tanpa keluarga..

Tanpa ada siapapun yang senantiasa selalu ada di sampingnya yang turut mendengar keluh kesahnya.

Yesa yang sendirian, apakah selamanya akan sama?






© 2021, karayouuu

MONOCHROME [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang