## 35 [END]

14 1 0
                                    

Sudah tiga bulan semenjak kematian Kian, Jenan sudah kembali menjalani kehidupannya seperti biasa. Semua kembali seperti biasa walau suasana tak bisa kembali seperti sebelumnya.

Selama itu pula, Yesa rajin mengunjungi Cindy dengan alasan menjenguk Bagas jika ditanya teman-temannya.

Seperti hari ini contohnya, Yesa tengah mempersiapkan banyak makanan di dapur kontrakannya.

“Widih. Banyak amat lo nyiapin makanan? Buat Bagas?” tanya Harsa yang kebetulan berada di sana.

“Iya nih.”

“Bro, lo sering banget gue liat-liat jengukin dia.”

Yesa memukul pelan lengan Harsa.

“Namanya juga adek gue. Ya harus sering dijenguk terus dibawain makan lah.”

“Oh.. gitu ya.”

Yesa mengangguk.

“Jadi, lo sering ke kantor polisi setelah terakhir kunjungan ke Bagas 4 bulan yang lalu?”

Gerak Yesa terhenti. Apa maksud Harsa?

“Harsa maksud lo ap—”

“Udah berapa lama lo bohong?” tanya Harsa santai sambil memakan buah yang ia ambil dari kulkas.

“Harsa, gue... lo tau dari mana?"

Harsa tersenyum remeh. Benar ternyata.

“Waktu itu gue iseng mampir ke kantor polisi buat nanyain seberapa sering lo kunjungan ke Bagas. Ternyata terakhir lo nemui dia, 4 bulan yang lalu. Am i right? Oh! atau jangan-jangan 5 bulan yang lalu?”

Yesa bungkam. Tidak tahu harus apa jika berada di situasi seperti ini.

“Kenapa diem? lo jenguk siapa selama ini? Ada kerabat lo yang dipenjara juga kayak Bagas?”

“Gue—”

“Ups! Gue ada kelas abis ini. Kapan-kapan aja lo jelasin semuanya sejelas-jelasnya, ok? Bye.”

Yesa mengusap wajahnya kasar. Apa lagi yang akan terjadi nanti?

***

“Eh, lo juga ikut makan dong. Masa gue doang yang makan?”

Cindy menyodorkan sendok lain untuk Yesa, namun lelaki itu hanya diam tak menerima.

“Yesa, lo kenapa? Lo sakit?”

Yesa menatap tepat di mata Cindy membuat perempuan itu merasa atmosfer di antara mereka berbeda dari sebelumnya.

“Cindy, lo janji kan mau minta maaf ke Jenan? Lo janji mau berubah jadi orang yang lebih baik lagi, kan?”

Cindy meletakkan sendoknya sedikit kasar.

“Gue harus jawab berapa kali lagi, Yesa? Iya gue mau, apa perlu gue nanti sujud di kaki Jenan? Oke bakal gue lakuin. Apa lagi yang bikin lo ragu sama gue?”

“Harsa tau, dia tau gue selama beberapa bulan ini nggak kunjungan ke adek gue. Dia tau gue bohong. Gue...cuma takut, gue takut mereka benci sama gue. Karena cuma mereka keluarga yang gue punya sekarang."

Cindy meraih tangan Yesa yang ada di atas meja.

“Kalo gitu, tinggalin gue. Jangan pernah ke sini lagi. Lupain gue. Usaha lo buat ringanin masa hukuman gue, jangan dilanjut lagi. Balik ke mereka. Nggak seharusnya lo temenan sama gue yang pembunuh ini. Biarin gue di sini selama 10 tahun. Gue nggak apa-apa, gue pantes nerima ini semua."

***

Malam harinya, Yesa sengaja pulang larut malam. Berharap semua teman-temannya sudah beristirahat dan ia berencana menghindari mereka terutama Harsa.

Yesa membuka pintu setelah berusaha membuka kunci dengan sangat berhati-hati.

Lampu yang semula padam, tiba-tiba menyala. Tidak seperti dugaannya sebelum masuk rumah, semua teman-temannya masih duduk di ruang tengah dengan santai.

“Tumben amat lo pulang jam segini? Harusnya lo udah di rumah sejak jam 9 tadi kan? Ini udah hampir jam 1”

Harsa, lelaki itu berucap demikian sembari menyilangkan tangan di depan dada.

“Duduk sini.” Kali ini suara Jenan terdengar menyeramkan entah mengapa.

Yesa perlahan duduk di sofa single tepat di sebelah Jenan.

“Dari mana aja lo seharian ini?” tanya Harsa.

“Kuliah, terus lanjut kerja. Apa lagi?”

Harsa terkekeh.

“Lo tadi pagi kan nyiapin bekel banyak buat ADEK lo di penjara.”

Yesa diam.

“Oh, gue lupa. Selama ini lo nggak kunjungan ke adek lo, lo ngunjungin siapa? Lo jengukin siapa selama beberapa bulan terakhir?” pertanyaan Harsa mengundang perhatian semua orang. Termasuk Jenan yang terlihat sangat terkejut.

Hening.

Semua menunggu Yesa menjawab serentetan pertanyaan dari Harsa.

“Sebelumnya gue minta maaf, gue selama ini masih berusaha nyari Sangrilla adek cewek gue.”

Mendengar itu Harsa tertegun, dugaannya selama ini berarti salah? Yesa yang ia lihat sering ke rumah tahanan ternyata bukan Yesa yang ia kenal?

“Emang kenapa?”

Harsa yang merasa bersalah sudah sempat berpikiran buruk tentang Yesa lantas

“Oh sorry sorry, gue pikir lo jengukin orang lain di rutan. Gue udah salah sangka.”

“Dan lo bikin kita begadang cuma buat dengerin lo yang salah paham, Harsa Mahendra?”

Yesa menghela napas lega. Setidaknya, jangan sekarang untuk mengakui.

“Harsa curiga sama lo. Dia pikir lo berkunjung ke iblis si pembunuh itu." Celetuk Jenan membuat Yesa mati-matian untuk tidak terpancing emosi.

“Nggak, kok. Gue tau dia dari persidangan dulu. Gue juga nggak ada urusan sama dia, ngapain juga gue jengukin dia.”

Jenan mengangguk menyetujui Yesa. Lalu semua teman-temannya kembali ke kamar masing-masing.

Gimana kalau dugaan Harsa nggak salah? Gimana reaksi kalian kalo tau temen kalian punya hubungan sama orang yang selama ini kalian benci? Gimana kalo gue bener-bener jatuh ke Cindy? Gue nggak tau apa yang bakal terjadi nanti. Mungkinkah kalian juga benci?

Sampai detik ini pun, gue masih belum nemuin setitik warna buat hidup gue yang gelap. Semua masih sama seperti awal. Gelap, sendirian, ketakutan.











END.

© 2021, karayouuu

MONOCHROME [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang