## 25

5 1 0
                                    

"Ngeliat lo masih bisa berkeliaran di sini dengan title buruk kayak gitu seharusnya lo bersyukur kita masih mau nampung sekaligus jadi temen lo," lanjut Harsa mendorong tubuh Yesa yang menatapnya nanar.

"Kenapa? Lo marah? Yang gue bilang kan fakta. Apa lo lagi pura-pura biar nggak ketahuan?
Cupu."

"Harsa, udah—"

"Udah? Lo percaya alibi dia dituduh?" tanya Harsa yang menatap tak percaya kepada Rakha.

Laki-laki berkulit putih tersebut mendecak frustasi, "Itu cuma alibi dia doang kali biar kita
percaya dan lo bisa ambil barang-barang di sini. Ambil aja bro, pelaku kriminal kayak lo nggak berhak ikut campur ke urusan gue sekarang." telak

Harsa membuat Yesa tak bergeming, serentetan kalimat tajam yang keluar dari mulut Harsa membuatnya tak sanggup berkata-kata.

Jean berdecak memecah keheningan, pikirannya runyam dan suasana rumah membuatnya gerah.

Jean meraih ransel yang ada di atas sofa, menyampirkan pada bahu kanannya dan
melangkah menuju pintu utama.

"Jean!" panggil Jenan

"Je, tunggu dulu!"

"Pengecut. Lo lari dari masalah?" sindir Harsa membuat langkah Jean tertahan,

"Je, kita selesaikan masalah ini pakai kepala dingin dulu, oke?" pinta Jenan disetujui oleh Rakha,

"Lo boleh pergi untuk nenangin pikiran lo, tapi jangan lupa balik."

"Ngapain balik? Nyelesein masalah di sini aja nggak bisa. Pergi aja lo sekalian, pengecut."
timpal Harsa dengan cepat.
Tanpa di sadari, Jean mencengkram tali ranselnya kuat dan menariknya kasar.

"Terserah," ujar Jean lalu pergi dari rumah ini.

Jenan menghela napas lelahnya, tidak lucu bukan hubungan pertemanan mereka akan hancurr hanya karena memperebutkan satu gadis saja?

"Sekarang mending lo pada masuk kamar masing-masing! Gue harap masalah ini diselesaikan dengan baik-baik dan secara dewasa bukan asal main pukul aja!" ucap Jenan dengan penekanan disetiap kalimatnya.

***

Sudah beberapa hari Yesa tidak berinteraksi dengan teman-teman kontrakannya. Perasaannya kembali canggung karena ia sempat salah bicara saat perdebatan Jean dan Harsa tempo hari. Bukan karena disengaja, Yesa justru merutuki dirinya sendiri karena terlalu gamblang tanpa memikirkan akibat saat menlontarkan kalimat pedasnya.

Seharusnya ia sadar dan bisa menahan diri untuk tidak bertindak kejauhan terlebih kepada orang lain yang sudah membantunya.

“Bego lo, Sa,” ucapnya pada diri sendiri.

Yesa memukul-mukul kepalanya di meja kasir. Untung saja coffeeshop hari ini sedang tidak ramai pembeli.

Hal itu, tentu saja mengundang perhatian beberapa teman rekan kerjanya.

“Yesa sakit?” tanya Inka.

Yesa mendongak.

“Nggak kok, Mbak. Cuma pusing dikit aja. Tapi gue masih kuat kerja kok, aman.”

Inka mengangguk paham, sudah hafal jika Yesa tipikal orang yang tidak mau dipaksa. Maka dia akan mengalah dengan tak memaksa Yesa untuk pulang atau sekedar istirahat di ruang istirahat mereka.

***

“Gue bilang juga apa? Lo pasti kecapekan. Udah, resign aja dari coffeeshop.”

Yesa tak menghiraukan ucapan Dava.

“Gue mau dapet uang dari mana kalo nggak kerja di sana? Gue masih punya beban uang kuliah kalo lo lupa.”

“Sohib gue ternyata lupa kalo dia juga youtuber. Lo bisa dapet cuan dari konten gaming lo.”

Ngomong-ngomong tentang konten, sudah lama sekali semenjak insiden itu. Yesa tak pernah lagi menyentuh kameranya. Jangankan menyentuh, wujud kamera itu saja sudah tidak ada karena Yesa telah menjualnya. Itu semua akibat rasa kalut setelah mendengar Sasha menjalin hubungan kasih dengan temannya sendiri.

Menyesal? Pasti. Karena benar kata Dava. Ia bisa mendapatkan uang dengan tetap mengunggah konten games juga live streaming di kanal youtubenya.

“Kameranya udah gue jual.”

“Ha? Demi apa? Maksud gue? Beneran lo jual?”

Yesa mengangguk lemah.

“Mau gue pinjemin duit buat beli lagi? Atau gue beliin deh.”

“Apaan sih! Nggak usah. Gue masih mampu beli kok. Lagian gue udah nggak mau ngonten lagi.”

Pernyataan Yesa barusan membuat Dava sadar, ternyata ia salah bicara dan takut membuat temannya tersinggung.

Sorry, gue nggak bermaksud—”

“Santai...”

Yesa melihat sekelilingnya, nampak sepi karena sinar matahari semakin terik.

“Abis ini ke studio lukis atau kuliah biasa?” tanya Yesa.

“Biasa, bu Gendis btw.”

Yesa mengangguk lalu bersiap untuk masuk kelas, membuat Dava merasa aneh karena biasanya tiap anak itu mendengar nama bu Gendis pasti akan semangat mengikuti mata kuliahnya. Kali ini, temannya itu terlihat seperti banyak pikiran.

“Apapun yang menimpa lo, semoga lo bisa lewatin ini semua, Sa.” Gumam Dava lalu berlari menyusul Yesa yang lebih dahulu pergi menuju kelas mereka.














© 2021, karayouuu

MONOCHROME [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang