Hari demi hari telah berlalu, Yesa mulai terbiasa dengan suasana baru di kontrakan bersama teman-temannya. Mengapa suasana baru? Entahlah, Yesa juga tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumah ini. Pasti banyak hal yang ia lewatkan selama berurusan dengan kepolisian.
Yesa merasa bosan hanya berdiam diri di dalam kamar, terbesit di benaknya untuk mengolah bahan makanan di dapur. Mie instan misalnya.
Yesa beranjak dari duduknya, keluar perlahan. Begitu menutup pintu kamarnya, ia dikejutkan dengan kehadiran Harsa di ruang tengah. Yesa segera menyembunyikan diri di balik lemari penyimpanan barang. Ada Jean juga di sana, sepertinya mereka tidak menyadari jika Yesa keluar kamar.
Harsa menarik kerah Jean yang sedang duduk santai di ruang tengah membuat siempu jatuh terseret.
“Harsa lo apa-apaan sih?!” Jean memberontak, namun tak lama kemudian ia merasa cengkeraman Harsa terlepas.
“Maksud lo apa?” tanya Harsa dengan amarah yang membuncah, Jean tak paham dengan situasi yang ia hadapi sekarang. Jean hanya diam.
“Maksud lo apa sama Nada?”
Menangkap apa yang dimaksud Harsa, Jean tersenyum miring. Dengusan kecil keluar dari bibirnya. Menyamankan posisi duduknya di lantai, Jean menatap Harsa yang masih berdiri dengan tatapan meremehkan.
“Kenapa? Cemburu? Nggak bisa berduaan sama Nada ya?”
Harsa yang semakin tersulut emosi lantas menarik kerah baju Jean, mencengkeramnya kuat seakan-akan memberitahu jika ia sedang tidak bermain-main.
“Lo.., emang hobi ngerebut apapun dari orang lain termasuk temen lo sendiri ya?”
Jean terkekeh.
“Harsa, Harsa. Gue ngerebut? Punya hak apa lo atas Nada? Lo bukan Tuhan yang mengendalikan perasaan seseorang. Nada bukan boneka yang bisa lo atur untuk kemana dia melabuhkan cinta. Percuma lo bersikap kayak gini, nyatanya lo itu bukan siapa-siapanya Nada.”
Bugh!
Satu pukulan telak Harsa layangkan tepat di rahang Jean. Membuat Yesa tersentak kaget.
“Gue udah lama punya perasaan sama Nada. Jauh sebelum lo, terus segampang itu lo ambil Nada?”
Jean mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah, pukulan Harsa sekuat itu. Memang, jika orang sudah tersulut emosi maka kekuatannya berkali-kali lipat lebih besar dari biasanya.
Keributan yang Harsa timbulkan tentu saja mengundang perhatian teman-temannya yang mungkin sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka satu per satu menghampiri Jean Harsa di ruang tengah.
“Ada apa nih?” tanya Jenan dengan suara paraunya.
“Je, lo nggak apa-apa?” tanya Rakha menghampiri Jean dan membantunya berdiri.
Yesa yang tidak tahu menahu situasinya hanya diam memperhatikan dari kejauhan. Masih canggung karena insiden yang pernah menimpanya tempo hari. Ia juga masih setia menyembunyikan diri.
“Nggak ada yang mau jawab gue apa?” Jenan berusaha mendapat jawaban agar ia memahami situasi apa yang sedang dihadapinya saat ini.
“Tanya sama orang iri dengki itu!” Jean tak sengaja berujar dengan ketus karena ia masih merasa tidak terima atas tindakan Harsa yang tiba-tiba memukulnya telak.
“Temen lo ini kurang perhatian sampe cari perhatian sama cewek orang.”
Jean kembali terkekeh.
“Pantes lo mengklaim Nada cewek lo? Sementara dia aja nggak tau perasaan lo,” ujar Jean meremehkan.
Jenan menahan Harsa yang hendak menghampiri Jean dan memberikan pria itu pukulan.
“Kalian ribut gara-gara satu cewek?” tanya Jenan tidak percaya. Nasib pertemanan mereka berdua sedang di ujung tanduk hanya karena satu perempuan?
Rakha dan Jenan benar-benar tidak mengerti dengan perdebatan mereka, keduanya hanya diam membiarkan dua anak fakultas kedokteran itu beradu mulut.
Yesa yang tidak enak karena bersembunyi akhirnya memberanikan diri untuk keluar dan bergabung bersama Jenan. Sempat mendapat lirikan sekilas dari Harsa dan Jean, Yesa ikut memperhatikan perdebatan mereka.
“Sekarang gue tanya sama lo, Jean. Bapak Presma yang terpandang di seantero Neo University. Apa maksud lo ngajak Nada berduaan di villa sampe nginep? Gue nggak mau berfikiran negatif—”
“Dan yang lo pikirin itu bener,” sela Jean dengan cepat.
Rakha yang berada di dekat Jean lantas memundurkan diri menciptakan jarak antara ia dan Jean. Bukan karena apa, ia hanya terkejut. Sangat terkejut. Siapapun yang berada di ruangan itu, mustahil jika ada yang tidak tahu apa yang Jean maksud. Terlebih lagi mereka laki-laki.
Suasana menjadi hening, Jean yang tidak tahu harus mengatakan apa. Harsa dengan perasaan yang sulit diartikan, antara kecewa dan marah. Rakha dan Jenan pun diam menunggu reaksi tokoh utama selanjutnya. Yesa pun diam tidak tahu ingin mengatakan apa. Ia bahkan tidak tahu masalah seperti apa yang sedang mereka berdua ributkan.
“Udahlah. Cuma cewek doang, kayak nggak ada cewek lain aja sampe lo berdua ributin kayak gini.” Tiba-tiba Yesa bersuara. Atensi ketiga temannya beralih ke Yesa. Mereka menatap teman yang masih tergolong baru itu dengan tatapan tak percaya.
“Keren lo ngomong gitu? Kalo nggak tau apa-apa mending diem. Jangan lo pikir gue deket sama lo, kita gila-gilaan bareng lo bisa seenaknya nyeletuk kayak gitu ya Yesa.” Dengan tajam Harsa melayangkan kalimat pedasnya.
“Loh? Gue bener kan? Pekara cewek aja lo berdua sampe ribut segininya. Kayak apa sih Nada Nada itu bikin temen gue kayak gini?” Yesa tetap mempertahankan argumennya.
Jenan yang merasa suasana makin runyam lantas memegang lengan Yesa, bermaksud untuk membuat cowok itu tak melanjutkan kalimatnya.
“Yesa lo kalo nggak tau apa-apa mending diem.” Jean bersuara setelah muak melihat Yesa dengan gampangnya memperkeruh suasana.
“Nada itu cantik? Cantik banget emang? Jangan-jangan dia pake pelet lagi sampe kalian berdua rebutan gini. ” Tungkas Yesa dengan nada meremehkan.
Rakha menjambak rambutnya frustasi, ternyata Yesa lebih julid dari perkiraannya. Tak berbeda dari Rakha, Jenan pun ikut frustasi dan was-was jika terjadi—
Bugh!
—perkelahian lagi.
Harsa memberi bogeman tepat di rahang cowok kelahiran 2000 di sebelah Jenan. Membuat siempu terhuyung hampir jatuh di lantai jika Harsa tidak menahan kerahnya lagi.
“Udah gue bilang, kalo nggak tau apa-apa diem! Shut your fuck up!” teriak Harsa tepat di depan wajah Yesa.
“Satu lagi, lo mantan pidana nggak usah sok disini. Kenapa dulu lo nggak nyuri barang di rumah ini juga? Butuh duit kan?” Harsa kembali melayangkan kalimat tajam dan berhasil menusuk relung hati Yesa. Membuatnya mengingat kembali kejadian malam itu. Padahal baru saja mereka bersikap seperti dulu. Namun, semarang Yesa kembali meneteskan tinta hitam di segelas air putih.
“Lo cerita kalo lo itu dituduh, pasti cuma alibi kan? Biar kita-kita percaya sama lo? Lagian siapa yang mau nampung lo jadi temen selain kita?” Harsa masih melanjutkan kalimatnya.
“Eh? Ekspresi apa itu? Lo marah? Lo marah gue bilang fakta? Apa jangan-jangan lo lagi pura-pura marah biar menutupi rasa malu lo yang udah ketangkep basah gini?”
Yesa tak bergeming, serentetan kalimat tajam yang Harsa ucapkan cukup membuatnya diam membisu.
Jenan dan Rakha juga terlihat tak dapat memberi pembelaan atau berusaha menghentikan Harsa, mereka diam. Seakan-akan membenarkan apa yang Harsa katakan walaupun sebenarnya tidak seperti itu.
© 2021, karayouuu
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [Completed]
General Fiction〖˒ first collaboration 〗˒ with nctzen's author ღ ➥ general fiction ; slice of life , college life , friendship. ✧ yesa alfidiaz dan upayanya mencari setitik warna dalam kehidupan