## 30

8 0 0
                                    

Setelah insiden kecelakaan Kian, Jenan tak pernah menginjakkan kakinya di rumah mereka, setelah waktu itu ia dipaksa pulang untuk sekedar membersihkan badan yang terkena noda darah. Sepertinya ia menemani Kian di rumah sakit. Semua memaklumi itu. Jenan pasti sangat terpukul dengan apa yang sedang menimpanya.

Sesekali teman-teman yang lain bergantian menemani Jenan di rumah sakit, membawakannya baju ganti, juga makanan karena Jenan pasti menjaga Kian 24 jam.

Hari ini hingga beberapa hari ke depan, Yesa disibukkan dengan kuliah. Selama itu pula, ia absen untuk menemani Jenan di rumah sakit.

“Ni anak demen banget bengong, woy! Yesa! sadar! ntar lo ketempelan!” Dava datang menepuk pundak Yesa membuat si empunya terkejut.

“Bisa biasa aja nggak? Kaget gue.”

Dava abai, memilih duduk di hadapan Yesa sembari memberikan sekaleng minuman dingin yang dibawanya untuk Yesa.

“Thanks,”  gumam Yesa pelan. Sangat pelan.

“Lemes amat dah lo. Kenapa sih? Ada apa sih? Keteteran sama tugas-tugas lo?”

Yesa menggeleng lemah.

“Ya terus?”

“Nggak tau, gue lemes aja. Pacar temen gue masuk rumah sakit, dia kecelakaan.”

Dava yang tadi meremehkan sikap aneh Yesa kemudian merasa bersalah.

“Eh, sorry. Gue nggak tau. Semoga pacar temen lo cepet sembuh, ya?”

Yesa tertawa kecil melihat perubahan sikap Dava. Seperti bukan Dava yang biasanya.

“Nanti gue sampein.”

Dava mengangguk.

“Yuk, siap-siap. Bentar lagi, ada tugas ke studio lukis. Terus besoknya kita ada kunjungan ke galeri seni lagi. Buat laporan, terus praktek lagi ke studio lukis.”

Yesa meringis mendengar celotehan Dava tentang schedule mereka. Masih sangat sibuk rupanya.

“Hm. Ayo.”

***

Sepulang kuliah, Yesa tak langsung pulang. Melainkan ia pergi ke kantor polisi untuk menjenguk adiknya. Membawakannya makanan, juga berusaha membujuknya untuk memberitahu keberadaan Sangrilla.

Begitu Bagas dipanggil, Yesa mengetuk meja gugup.

Bertahun-tahun tidak pernah bertemu, hingga kunjungan keduanya membuat Yesa tetap saja gugup jika bertemu adiknya. Masih terasa asing dan sangat canggung.

“Ngapain lagi ke sini?”

Yesa mengangkat kepalanya, mendapati Bagas memakai pakaian tahanan dan juga kedua tangan yang diborgol. Miris.

“Nggak usah liatin gue kayak gitu. Kalo nggak penting, mending lo pergi.” Sarkas Bagas begitu ia duduk di hadapan kakaknya.

“Ini...”

Yesa mendorong satu tas kantong berisi banyak makanan.

“Makan, bagi ke temen lo juga.”

Bagas menatapnya datar, “nggak perlu. makasih.”

Yesa menghela napasnya, selain sudah besar adiknya juga keras kepala rupanya.

“Ambil, gue udah bawain buat lo. Dan, please kasih tau gue di mana Sangrilla.”

“Buat apa? Mau bikin dia sengsara, lagi?”

“Bagas, gue tau lo benci sama Mas. Tapi, nggak ada salahnya kan Mas mau berusaha nebus kesalahan Mas dengan bawa kalian tinggal sama Mas? Bahagiain kalian, jadi orang tua buat kalian. Itu juga tetep salah di mata lo? Terus gimana yang bener? Mas harus apa? Telantarin kalian lagi?”

Bagas terdiam. Pertanyaan terakhir Yesa cukup membuatnya kembali mengingat kejadian beberapa tahun silam.

“Pak, saya sudah cukup.” Ujar Bagas kepada polisi yang mengawasi mereka di ruang kunjungan.

“Bagas, Mas belum selesai!”

“Gue nggak peduli, Mas. Silakan cari sendiri, kalo Mas bener-bener sayang sama dia.”

Bagas kembali ke dalam sel tahanan, Yesa menjambak rambutnya frustasi menghadapi sifat keras kepala adiknya yang tidak pernah ia tahu sebelumnya.

“Gue harus apa... Indonesia luas. Ke mana gue harus cari Sangrilla tanpa bantuan Bagas?”

***

Yesa memutuskan kembali pulang ke kontrakan, dan kebetulan bertemu dengan Rakha di sana.

“Dari mana lo baru balik malem gini?” tanya Rakha.

“Jenguk Bagas.”

Rakha yang sedang membuat teh hangat lantas menoleh.

“Lo udah diusir sama dia, masih mau jenguk?”

Yesa duduk di kursi depan pantry, menemani Rakha sekaligus melepas penatnya seharian ini.

“Mau gimana pun, dia tetep adik gue, Rak. Selamanya bakal gitu.”

Rakha mengangguk maklum, benar juga. Mau bagaimana pun mereka masih keluarga sedarah.

“Terus, dia juga masih nggak mau ngasih tau keberadaan adik cewek lo?”

Yesa mengangguk lemah sembari memijat pangkal hidungnya.

“Gue nggak tau harus gimana lagi, Rak.”

Rakha mendorong secangkir teh yang ia buat untuk Yesa.

“Eh, gue nggak minta lo buatin buat gue juga.”

“Ya, sama-sama.”

“Tapi, makasih.”

Hening, keduanya larut dalam pikiran mereka masing-masing.

“Gimana lo sama Sasha?” tanya Yesa tiba-tiba. Entahlah, mungkin karena ia merindukan sahabatnya.

“Ya gitu-gitu aja. Sasha yang cemburuan parah, terus sering adu bacot. Lovey dovey an, berantem, baikan. Ya kayak orang pacaran pada umumnya.”

Yesa tertawa geli, ah.. lebih tepatnya tertawa miris melihat diri sendiri yang mendengarkan kisah cinta temannya.

“Kenapa? kangen lo sama dia? Ketemu aja.”

Yesa tersentak.

“Enggak, kata siapa? Gue cuma pengen tau kabar kalian, kok.”

Rakha tersenyum kecil.

“Sasha uring-uringan terus karena lo tiba-tiba lost contact sama dia. Ngapain juga sih, bro? Lo berdua kan sahabatan. Nggak perlulah lost contact gini. Bunda juga nanyain lo terus.”

Sasha uring-uringan? Bunda? Ah ternyata Rakha juga diberi hak istimewa untuk menyebut ibu Sasha dengan sebutan Bunda juga. Sama seperti dirinya. Takdir Yesa semakin menyedihkan saja rasanya.





© 2021, karayouuu

MONOCHROME [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang