“Yesa mana Yesa?!!”
“Molor noh di pojokan.”
Dava segera bergegas menghampiri Yesa yang sedang tidur di bangku paling belakang.
“Yesa, bangun.” Dava menggoyang-goyangkan tubuh Yesa hingga siempunya terbangun.
“Apaan sih lo! Ganggu orang tidur ae! Hus hus!” usir Yesa dengan nada paraunya.
“Gawat! Pak Jefri nyuruh anak-anak seni rupa bikin lukisan di artwall sekarang?”
Yesa membuka matanya perlahan, lalu terduduk. “Mendadak banget.”
Dava menceritakan bagaimana ia mendapat perintah dari salah satu dosen kesenian mereka. Yesa yang mendengarkan menghembuskan napasnya lelah. Belum melakukan saja sudah lelah, apalagi melakukan perintah dadakan ini?
“Gue gak ada di kasih tau Jean soal ini.”
“Ya lo pikir urusan Jean cuma ini doang? Bisa jadi panitia udah diskusi sama Pak Jefri tapi dosen tua bangka itu baru ngasih tau pas hari H gini.”
Yesa berdiri, meraih tasnya lalu pergi keluar kelas diikuti Dava dari belakang. Tiba-tiba Yesa berhenti, Dava juga turut menghentikan langkahnya.
“Kenapa, Sa?” tanya Dava.
“Anak seni rupa kan banyak, kenapa harus kita?”
“Banyak kok yang disuruh, udah ayo!” Dava menarik lengan Yesa yang mengikuti temannya dengan langkah malas.
•••
Yesa menatap datar objek yang ada di hadapannya, tak lupa tangannya memegang palet lengkap dengan cat air. Tangan satunya lagi memegang kuas kecil.
“Lo kenapa nggak bilang kita dapet bagian ngewarnain ini semua?” tanya Yesa pada sahabat karibnya yang sedang sibuk mengoleskan warna.
“Tadinya gue mau ngajak lo ambil bagian gambar sketsa. Tapi lo dicariin malah nggak ada, tau-tau molor di kelas.”
Yesa menundukkan kepalanya sejenak, lalu mulai membasahi kuasnya dengan warna merah.
“Shit.” umpatnya sambil mencoret satu bagian sketsa dengan warna merah.
Memang, Yesa sangat anti mewarnai karena ia tidak begitu suka banyak warna. Aneh memang, mengambil jurusan seni rupa tapi membenci banyak warna yang berhubungan dengan studinya.
Ketika mendapat tugas, sebenarnya ia mengandalkan mood untuk menghasilkan karya bagus. Ia juga mengakui jika seleranya dalam memilih warna sangat buruk. Jika boleh memilih, ia lebih memilih menggambar sketsa yang hanya bermodalkan pensil dan penghapus saja.
“Ngomong-ngomong, gimana lo sama doi?” tanya Dava.
“Doi?”
“Itu loh yang lo kenalin ke gue, siapa namanya? Shania? Salsa?”
“Sasha.”
“Nah itu!”
“Gue sama dia...”
Yesa menjeda, ia mendadak teringat sahabatnya saat bertemu di coffeeshop kemarin. Dan juga fakta menyakitkan itu.
“....cuma temenan,” sambungnya.
“Lah? Gue kira kalian pacaran. Kayak gue liat lo sama dia lengket banget kayak pasutri.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [Completed]
Aktuelle Literatur〖˒ first collaboration 〗˒ with nctzen's author ღ ➥ general fiction ; slice of life , college life , friendship. ✧ yesa alfidiaz dan upayanya mencari setitik warna dalam kehidupan