“Kamu beneran tidak punya wali?” tanya salah satu polisi yang melakukan interogasi pada Yesa.
“Saya udah bilang, Pak. Saya ke kota ini sendirian udah lama banget. Saya juga nggak tau dimana keluarga saya. Yang saya punya di sini cuma dua teman yang waktu itu datang kesini.”
Polisi itu menghela nafas. “Baik, jadi gini. Untuk mendapatkan bukti akurat sulit dilakukan karena tidak ada satupun warga yang menjadi saksi di malam itu. Jadi... ”
“Maaf menyela, Pak. Memang malam itu tidak ada siapapun di sana. Saya sudah sangat jujur jika itu bukan saya pelakunya. Apa disana tidak ada satupun cctv pak? Tolong selidiki lagi, Pak.”
Polisi tersebut lantas menjelaskan dengan detail lokasi tempat kejadian yang tidak ada cctv. Dan tempatnya yang jarang ada orang berlalu lalang di atas jam sepuluh malam.
Bahu Yesa lemas, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi untuk bebas dari tempat ini. Sudah hampir satu bulan ia menjalani hukuman atas kesalahan yang bukan karenanya. Hari ini tepat tiga minggu ia mendekam di penjara.
“Permisi, Pak. Ada seorang warga yang membawa bukti tentang kasus saudara Yesa. Dan ditemukan sidik jari lain di barang bukti.”
Yesa terkejut mendengar penjelasan seorang polisi wanita yang baru saja datang. Ia bahagia. Beban yang ada di pundaknya seketika lenyap begitu saja.
“Siapapun itu, terima kasih banyak,” gumam Yesa pelan.
***
Tiga hari kemudian...
Bagas yang sedang mengistirahatkan tubuhnya, tiba-tiba terbangun ketika ada sorot lampu menerpa wajahnya.
Bagas mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya. Beberapa pria berpakaian hitam datang menghampirinya.
“Jangan-jangan mereka preman yang mau merampas uang-uang gue.” gumam Bagas hendak kabur namun tangannya berhasil dicekal salah satu dari mereka.
“Saudara Bagas, mohon ikut kami ke kantor polisi.” ucap salah satu pria itu sambil memborgol kedua tangan Bagas dengan gerakan cepat.
“Loh? loh? Pak! Saya salah apa?!”
“Jelaskan di kantor polisi.”
Beberapa polisi itu menyeret Bagas untuk dibawa ke kantor polisi, mereka juga sedikit kewalahan karena Bagas terus memberontak. Namun, tetap saja remaja seperti Bagas tak mampu melawan lima orang polisi yang menahannya.
Bagas pasrah. Ia tidak menyangka akan tertangkap secepat ini. Dari dalam mobil, Bagas menghela nafasnya. Dalam hati mengucap beribu-ribu kali kata maaf. untuk adik perempuannya.
Seharusnya ia pergi malam itu, saat Sangrilla meneleponnya untuk pulang. Seharusnya ia langsung bergegas pergi. Namun, ia malah sibuk mencari uang tambahan agar bisa membelikan Sangrilla buah tangan. Berakhir kelelahan, Bagas pun ketiduran di tempat biasanya ia tinggal.
Seharusnya juga malam ini ia bisa bertemu adiknya ketika sudah beberapa bulan tidak pulang.
***
“Kamu beruntung, Nak. Hari ini, baru saja kami menemukan identitasmu yang berkuliah di Universitas Neo. Kamu juga bekerja di coffeeshop. Seharusnya, hari ini kami ke dua tempat itu untuk meminta keterangan tentangmu. Tapi saya rasa tidak perlu. Karena pelaku asli sudah tertangkap.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [Completed]
General Fiction〖˒ first collaboration 〗˒ with nctzen's author ღ ➥ general fiction ; slice of life , college life , friendship. ✧ yesa alfidiaz dan upayanya mencari setitik warna dalam kehidupan