Tapi semesta tidak mengijinkan dirinya untuk bersama, semesta tahu bahwa dia berhak untuk bahagia bersama orang yang dia sayangi, bukan untuk orang yang mencintainya~ Bian.
Manda menghembuskan nafas kesal. Menarik kursinya dengan cukup keras seraya berjalan ke pintu keluar. Ia sangat malas harus meladeni semua ocehan teman-temannya yang selalu membela saja Marsha, apa-apa saja Marsha, semuanya pasti Marsha.
"Sekalian aja nih sekolah Marsha, kesel gue lama-lama."
Tatapannya kini terus menunduk ke bawah melihat beberapa ubin yang berada di lantai. Menghitungnya dan terus berjalan entah kemana, saat seperti ini Manda lebih senang mencari tempat ketenangan.
Dan pas sekali di saat ia sedang menghitung ubin lantai yang sudah lupa keberapa hitungannya. Ia melihat ada sebuah pohon rindang di sana, sepertinya tempat itu sangat pas untuk ketenangannya sekarang.
"Bodo amat lah, gue malas berada di kelas. Mendingan gue bolos aja disini." Menyederkan punggungnya di pohon seraya memejamkan matanya, menikmati angin di pagi hari yang sangat sejuk.
Untung saja tidak ada penjaga sekolah yang sedang bertugas di sekitaran sini, membuatnya lebih leluasa untuk mencari ketenangan.
"Bangun!"
Suara bariton seseorang membuat pendengaran Manda menjadi terganggu, ia sibuk mengusap-ngusap telingannya yang sangat berisik sekali.
"Bangun!"
Kedua kalinya suara itu selalu muncul di telingannya, entah itu mimpi atau kenyataan. Manda bangun dengan hembusan nafas kesal. Bisa-bisanya ada orang yang sedang menganggunya saat-saat seperti ini.
"Ada apa si!" kesalnya yang masih belum membukakan mata dengan sepenuhnya.
"Kenapa masih disini masuk," titah laki-laki itu menarik pergelangan tangan Manda dengan tiba-tiba.
Manda tersentak menatap kesal ke arah laki-laki itu, sepertinya Manda mengenal laki-laki itu dari belakang.
"Lo temannya Koko yang waktu itu kan," tuturnya menatap lekat wajah yang sama saat beberapa minggu waktu yang lalu. Ia masih teringat jelas saat laki-laki itu nampak diam saja saat di kantin bersamanya.
Bian hanya terdiam, menatap Manda dengan datar.
"Masuk!"
"Jangan ngatur-ngatur gue deh. Mendingan lo pergi aja dari sini! Gue nggak butuh lo." Gadis itu menghempaskan cekalan tangannya, mendudukkan kembali bokongnya di kursi kayu tua yang sudah terlihat rapuh.
Bian menghembuskan nafas panjang, duduk di samping Manda seraya mendongakkan wajahnya menatap burung-burung dara yang sedang bertengker di atap sekolah.
"Kalau mau mencari kesendirian jangan buang-buang waktu untuk hal-hal yang berharga. Terkadang kita tidak bisa mendapatkan waktu-waktu yang berharga di dunia ini. Berharga itu langka tapi mendapatkannya sangat begitu mudah kita dapat. Bayangkan saja seorang pemulung, dia selalu mendapat hal-hal yang paling berharga di hidupnya, selalu membuat sekelilingnya menjadi nyaman, dan satu lagi dapat pelajaran hidup yang paling berharga dalam kehidupannya."
Manda menoleh, sepertinya ia cukup penasaran dengan apa yang Bian katakan selanjutnya. "Kenapa bisa gitu?" tanyanya.
Bian terkekeh, menghembuskan nafasnya panjang. "Berharga itu tidak perlu mewah, cukup menjadi pemulung saja kau bisa merasa berharga. Pemulung itu tak ternilai kerja kerasnya, sebagaimana kita mencari pasti selalu saja mendapatkan nominal yang sedikit harganya. Tapi itu semua tidak membiarkan kerja kerasnya lelah begitu saja, karena adanya pemulung sampah yang sakingnya banyak ada di tong sampah dengan penuh aqua mineral tiba-tiba menjadi berkurang sedikit demi sedikit. Selalu mencari barang-barang yang berarti untuk sesuap makannya untuk esok hari. Untuk makan esok saja dia harus memikirkan makanya bagaimana, terkadang mereka juga pernah mengambil sisa-sisa makanan orang-orang hanya untuk sesuap nasi di perutnya...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marsha
Teen Fiction"BANGUN ... ANAK NYUSAHIN." "Mah... jangan... mah, Marsha minta... maaf," lirih Marsha tersedu-sedu, kala sebuah pukulan cambuk sudah melukai tubuhnya lagi dengan begitu kerasnya. "Saya tidak akan biarkan kamu ampun!" °°°°°°°° "Lo apaan si Man ngomo...