Seperti kata pepatah 'sepintar-pintarnya bangkai di tutupi, baunya tetap tercium juga.'
.
.
.Dua minggu kemudian.....
Dua minggu sudah kondisi Marsha semakin memburuk setiap harinya, dokter yang menangani Marsha pun hampir pasrah dengan kondisi pasien yang tidak merespon apapun dengan obat-obatannya.
"Mah, kayanya Marsha bakalan mati," bisik Salsa saat mendengar perbicangan dokter dan perawat yang mengatakan kondisi Marsha yang semakin memburuk.
"Jangan gegabah, ini di rumah sakit," geramnya yang gemas melihat tingkah laku anaknya yang semakin gila dengan kematian Marsha.
"Harusnya kita langsung aja bunuh Marsha, supaya dia cepat mati." Kalau bukan karena Devi yang terus menahannya, mungkin Marsha akan mati hari ini. Tapi ia harus sabar, ia tidak boleh gegabah melakukannya.
"Ingat jika kamu bunuh Marsha hari ini, dokter-dokter akan curiga. Apalagi jika kamu ketahuan, kamu yang akan jadi taruhannya."
Salsa menghela nafas berat. "Mah aku benci banget liat muka polosnya, kalau dia nggak masuk rumah sakit akan aku bunuh dia di hari ulang tahunya."
"Sebegitu bencinya kamu kepada adikmu?"
Salsa menggeram kesal, jika ada yang menyebut dia sebagai adiknya. Ia tidak sudi mempunyai adik sejahat dia.
"Jangan pernah nyebut dia adik aku, aku nggak punya adik sejahat dia." Salsa tidak akan pernah lupa dengan kelakuan Marsha yang membuat ayahnya meninggal dunia, dan karena dia lah ia harus mendekam di rumah sakit jiwa itu.
"Ini bukan murni kesalahan dia Man, buka mata kamu dia adik kamu. Mamah mendukung kamu karena mamah sayang sama kamu, kalau bukan karena mendiang ayah kamu untuk menjaga Marsha mamah udah usir dia dari rumah."
"Mah dia cuman adik tiri aku, bukan adik kandung aku."
"Kamu benar dia hanya adik tiri, mamah akan dukung kamu jika kamu bahagia sayang." Devi memeluk tubuh Salsa dengan erat, ia tidak akan lupa seberapa menderita anaknya itu selama bertahun-tahun oleh Marsha. Jika, bukan janjinya kepada Leon untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya bahwa dia bukan mamah kandung Marsha, ia tidak perlu berpura-pura baik seperti ini seperti layaknya ibu kandung.
"Jadi dia pelakunya," gumam seseorang yang mendengar semuanya dari balik tembok rumah sakit dengan rasa tidak percaya.
🌼🌼🌼
Suasana kelas IPA 1 semakin ramai, kala pak Buji guru olahraga mengajar di dalam kelas. Bukannya apa-apa kalau pak Buji menerangakan materi tentang olahraga semakin melantur, bukannya menerangkan malah bercerita panjang lebar tentang kisah cintanya yang tak kunjung mendapat kepastian dari bu Cici guru inggris kelas X.
"Udah lama bapak suka sama bu Cici, tapi bu Cici selalu nolak bapak. Apa bapak ada yang salah ya, padahal muka bapak ganteng lo," katanya mendramastis saat-saat bu Cici yang terus menolaknya.
"Bapak udah ngaca belum pak?" Celetuk Bim bim si gendut yang menyebalkan di IPA 1.
Bukannya menjawab pertanyaan Bim bim, pak Buji malah mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Cermin bulat kecil berwarna putih langsung ia buka, memperlihatkan wajahnya yang teramat terlihat tua dengan beberapa rambut putih di ujung rambutnya.
"Kamu menyindir saya tua." Pak buji menatap Bim bim dengan tatapan mematikan, Bim bim hanya bisa menyengir kuda saat itu.
"Saya nggak nyindir loh pak, bapaknya yang ngaku sendiri tua. Pantesan aja bu Cici nolak bapak, bapak sadar diri kek bapak kan udah duda anak 1 apalagi umur bapak yang udah kepala 4. Sedangkan bu Cici dia masih muda pak, menikah saja belum. Pantesnya bapak jadi bapaknya bu Cici, bukan suaminya," celetuknya yang tidak melihat saja mata pak Buji yang sudah ingin keluar ingin menerkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marsha
Teen Fiction"BANGUN ... ANAK NYUSAHIN." "Mah... jangan... mah, Marsha minta... maaf," lirih Marsha tersedu-sedu, kala sebuah pukulan cambuk sudah melukai tubuhnya lagi dengan begitu kerasnya. "Saya tidak akan biarkan kamu ampun!" °°°°°°°° "Lo apaan si Man ngomo...