Selamat tinggal, terimakasih sudah menjadi bagian terbaik dalam hidup gue. Walaupun waktunya cuman sebentar, tapi gue bersyukur banget pernah kenal dan cinta sama lo. Selalu bahagia ya, gue senang liat senyuman lo.
••••••
Sambil dengerin lagu ini ye
"Marsha, berhenti lo dari sana. Selangkah lo maju, gue akan tembak lo!"
Suara itu sangat familiar di telinga Marsha, saat ia hendak membalikan wajahnya Dion menahannya untuk tetap pada pandangannya sekarang.
"Jangan liat ke belakang. Pegangan kita akan lari setelah ini."
Marsha menganggukkan kepalanya, ia mencengkram erat leher Dion lebih erat. Saat melihat Marsha menuruti perintahnya ia tersenyum tipis.
"Lo harus tetap bahagia ya Sha, gue suka liat senyum lo."
Marsha menautkan kedua alisnya, kenapa Dion berkata seperti itu. Jika seperti ini terus Marsha tidak bisa menghilangkan perasannya. Kenapa untuk melupakan sangat sesulit itu.
"Janji ya Sha, lo harus tetap bahagia apapun kondisinya?" Dion menundukan kepalanya menatap Marsha. Cahaya gelap membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas raut wajahnya.
"Nggak tahu, kenapa lo nanya gitu si itu hak gue mau bahagia apa nggak, bukan urusan lo!" ketusnya memalingkan wajahnya ke samping.
Dion tersenyum tipis di sela-sela jalannya menyusuri lorong gelap ini. Ia sangat bahagia bisa bersama dengan Marsha yang sangat selalu ia rindukan di setiap saatnya. Andai Dion tidak membuat Marsha kecewa mungkin ia akan bersamanya hari ini.
"Kenapa lo bawa kabur gue, sebenernya ada apa?" tanyanya yang sangat penasaran. Apalagi dengan suara yang sempat ia dengar di anak tangga, itu seperti suara kakaknya. Tapi kenapa kakaknya ingin membunuhnya.
"Lo nggak tahu apa-apa soal ini?" Dion berbalik bertanya, memastikan Marsha memang benar-benar tidak tahu.
Marsha menggelengkan kepalanya. Dion tidak ingin Marsha kecewa jika mengetahui kebenaran yang sebenarnya, ia tidak ingin melihat gadisnya menangis. Ia ingin selalu melihatnya bahagia.
Marsha mencubit lengan Dion yang tidak menjawab pertanyaannya. Dion meringis saat merasakan cubitan yang begitu sakit di lengannya.
"Kenapa lo cubit gue," Dion meringis di sela-sela menggedong Marsha. Untung saja tangannya masih kuat menahan cubitan yang tidak terasa sama sekali, ya walaupun masih ada rasa nyeri sedikit.
"Lo tuh ya emang nyebelin. Bisa nggak si jawab pertanyaan gue bukan malah ngalihin topik pembicaraan. Pasti ini ada sangkut pautnya kan sama gue."
"Nanti lo juga tahu, yang penting lo ikutin apa yang gue suruh, oke." Dion tersenyum tipis saat melihat wajah kesal Marsha. Tak kerasa perjalannya bersama Marsha akan berakhir dan ia bisa lihat jelas cahaya matahari yang menyilau ke arahnya.
Bak seperti sebuah cerita fantasi yang akan menemukan jalan keluarnya setelah ini. Tapi, rasanya tidak untuknya ia melihat seorang laki-laki bertubuh besar sedang menghadangnya di ujung lorong sana. Marsha mendongakkan kepalanya saat matanya menangkap jelas sosok yang ia lihat di depan lobby, Dion yang mengerti pun mengusap lembut punggung Marsha mengartikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Entah kenapa perjalannya yang semakin menipis untuk ke ujung lorong membuatnya merasa sesak. Rasanya ia tidak ingin terus berjalan ia ingin berhenti untuk sebentar saja, berhenti untuk selalu bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marsha
Teen Fiction"BANGUN ... ANAK NYUSAHIN." "Mah... jangan... mah, Marsha minta... maaf," lirih Marsha tersedu-sedu, kala sebuah pukulan cambuk sudah melukai tubuhnya lagi dengan begitu kerasnya. "Saya tidak akan biarkan kamu ampun!" °°°°°°°° "Lo apaan si Man ngomo...