Bandung.
"Semesta belum mengizinkannya pulang ke rumah. Terlalu banyak rantai dan ranting menahan tubuhnya. Namun manakah yang semesta maksud? Pulang kemana?"
"Arva udah bangun?"
Pria itu menggeleng dengan tatapan dingin.
"Anda bodoh atau bagaimana? Dan juga. Arva?"
"Tetap jaga dia."
Pria satu lagi yang berumur 57 tahun itu berjalan mendekati ranjang rumah sakit yang diisi oleh anak perempuan. Badannya dikelilingi selang dan infus.
"Dia tidak akan bangun dan anda tahu sendiri kanker ini sudah tidak bisa diselamatkan. Kita hanya membuang waktu!"
Gerald menoleh, menatap cucu pertamanya ini. Tangannya masih menyentuh ranjang kasur itu untuk menopang tubuhnya yang sudah mulai lemah karena umur.
"Kita tunggu..."
"Sampai kapan? Keluarganya?"
"Adik kamu udah urus semuanya. Kamu hanya perlu menjaga anak ini."
Febri melotot, terkejut.
"Anda gila?! Jangan bawa adik saya untuk rencana balas dendam kamu ini!"
Plak!
Tamparan halus namun nyeri itu mendarat sempurna di pipi Febri. Gerald masih menunjukkan raut wajah yang tenang walaupun tangannya seolah berkata ia murka.
Febri menutup mata, mengepalkan tangannya.
"Biarkan saya mengurus cucu saya yang masih menerima saya sebagai kakeknya. Anda diam saja."
Febri tersenyum miring, tertawa pelan. "Dimana adik aku?"
"Jawab brengsek!"
"Dia tidak ada di Bandung."
Rahang Febri mengeras, urat-uratnya timbul menahan amarah. Tanpa berkata apapun lagi cowok itu langsung keluar dari kamar rumah sakit.
Gerald menekan satu benda berukuran kecil di tangannya.
"Awasi dia jangan sampai keluar Bandung."
---
Kini Fiony, Mira, dan Ara sedang berada di apartemen Fiony. Mereka sengaja berkumpul di sini dibanding di caffe atau di rumah makan. Tentunya mereka juga tidak ingin membuang uang hanya untuk memesan minum padahal tujuan mereka jauh dari sekadar minum.
Apartemen Fiony tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Padahal ekspetasi Ara apartemen Fiony ini seperti apartemen orang-orang kayak yang mewah banget.
Tapi walaupun begitu, apartemen ini sangat nyaman. Cukup untuk satu gadis yang memang tidak tinggal lama di Jakarta.
Barang-barang di apertemen Fiony juga tidak banyak, bahkan sangat sedikit. Sehingga apertemen ini kelihatan lebih luas.
"Lo berani juga sendirian di sini. Gue kira lu anak mami," celetuk Mira sembari matanya menyapu semua ruang tengah apartemen.
"Lo bisa gak, sih, gak frontal frontal amat?"
"Kan gue nanya."
Ara geleng-geleng kepala menghela nafas, sedangkan Fiony malah tertawa mendengar ucapan Mira. Sebelumnya Ara juga sempat berpikir Fiony adalah anak mami dari perawakannya. Namun sekarang ia menarik pemikiran itu.