Tiga bulan setelah insiden penculikan Devian, semua berjalan seperti biasa.
Devian sudah mengikhlaskan semua kekurangan yang ia miliki sekarang, ia sudah ikhlas dan menerimanya, ia tak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpanya, ia yakin Tuhan pasti mempunyai rencana yang jauh lebih baik, dari yang ia inginkan.
Devian juga sudah mulai mengikuti terapi untuk bisa berjalan kembali, dan menjadi nomor urutan pertama sebagai penerima donor mata di rumah sakit.
Mama-nya yang tak pernah meninggalkannya, selalu ada di sampingnya, dan benar-benar berubah seperti janji Yuna pada Devian.
Senyuman indah tak pernah lepas dari Devian, meski ia kini tak lagi bersekolah dan hanya mengikuti homeschooling, dengan guru private-nya dan ia sekarang mulai belajar membaca huruf Braille.
Seperti halnya sekarang, ia tengah berada di taman belakang rumahnya, sembari membaca buku yang di berikan gurunya untuk ia baca, duduk di gazebo rumah sendiri sembari menunggu Yuna tengah pergi ke dapur, dan memangku buku di atas pahanya.
Jari telunjuknya di letakkan di atas buku, meraba setiap titik-titik kecil bertekstur di bukunya.
"A-K-U-B-U-D-I." Gumam Devian pelan mengeja tulisan yang ia sentuh dengan telunjuknya.
"Aku Budi! Yeayy!!!" Devian bersorak senang saat berhasil mengeja dua kata, tangannya bertepuk tangan menyalurkan rasa senangnya.
"Kenapa dek?"
Yuna bertanya sembari menaruh sepiring cookies coklat dan segelas susu putih di samping Devian, lalu duduk di samping Sang anak.
"Mama! Ian seneng banget, Ian udah bisa baca ini!" Kata Devian sembari mengangkat bukunya ke atas dengan dua tangannya.
Yuna tersenyum senang melihat senyum ceria yang di tunjukkan Devian.
Ia bersyukur karena Devian tak berlarut-larut dalam sedihnya dan kembali seperti Devian yang dulu. Yang selalu tersenyum menebar aura positif pada setiap orang yang melihatnya.
Namun tidak di pungkiri rasa sedih juga ia rasakan, melihat Devian yang kadang bersusah payah melakukan suatu sendiri tanpa meminta bantuan.
Padahal Yuna dan yang lain selalu ada menemaninya untuk membantu, tapi sering kali di tolak oleh Devian dengan alasan tidak ingin merepotkan.
Gapapa Ian gak mau ngerepotin kalian. Anak bungsunya selalu berbicara seperti itu, dan tentu itu hal yang paling mengusik dirinya juga anak-anaknya yang lain, tidak ada yang merasa di repotkan selama itu Devian, orang yang mereka sayangi. Entah sejak kapan Devian selalu mengucapkan hal tersebut.
Atau mungkin Yuna lupa, semasa ia jauh dengan Devian. Ia selalu mengucapkan hal tersebut hingga menyebabkan Devian selalu berpikir bahwa memang ia menyusahkan dan membuat repot saudaranya.
Dan itu baru Yuna sadar sekarang, tentu rasa penyesalan tak pernah hilang dari benaknya, dan kata maaf selalu terucap dari bibirnya.
Namun berlarut dalam penyesalan itu bukanlah hal yang baik, dan sekarang yang ia harus lakukan adalah berubah dan memperbaiki diri agar jadi lebih baik untuk kedepannya.
"Mama!"
Panggilan Devian menyadarkan Yuna dari lamunannya.
"Eh, kenapa sayang?"
"Mama gak dengerin Ian?! Mama kok diem aja gak nyaut Ian ngomong?!" Bibir bawah Devian maju untuk beberapa saat, merasa kesal karna sedari tadi ia berbicara sendiri, ia kira mamanya pergi meninggalkannya yang tengah bercerita.

KAMU SEDANG MEMBACA
ADITAMA • SuperM ✓
FanfictionSelamat datang di KELUARGA ADITAMA (09.01.2021) - (25.09.2021)