35. Ibunya dan kabar baik

162 19 0
                                    

Sora sudah tidur sejak sejam yang lalu. Dia bahkan tak tau jika ayah Shooky datang malam ini. Kemunculannya sudah membuat ku tak tenang. Apa lagi sekarang dia menyodorkan paper bag berisi 4 alat tes kehamilan dengan merek berbeda. Jantung ku sudah tak bisa diatur. Pikiran ku melayang sudah sangat jauh. Over thinking? Tentu saja!

Aku duduk didalam kamar mandi menunggu hasil yang semuanya tertulis -+15 menit. Bagaimana jika memang aku hamil? Bagaimana jika semua membentuk dua garis? Apakah Suga bisa meyakinkan ku untuk menikahinya?

Mengapa harus aku yang yakin? Karena akan terlihat bagaimana usaha seorang pria mempertahankan wanitanya saat didera masalah.

"Chagi." Ketukan pintu membuat ku terhenyak. Suga masuk kamar mandi, melihat ku duduk lemas dengan pucat dia mendekati kearah tepian bathtub. Keempat alat tes itu membentuk hasil yang sama.

Suga berlutut didepan ku. Wajahnya memandang ku teduh. Tangannya merengkuh tubuh ku kedalam pelukannya.

"Gumawo, sudah membiarkan dia ada didalam sana." Sebuah kalimat yang membuat ku ketakutan. Air mataku menetes tak berhenti. Masalah sudah di pelupuk mata.

"Aku bahkan tak tau kalau aku hamil." Rasanya seperti mimpi. Suga menuntun ku kembali ke kamar. Sebuah kecupan kudapatkan di dahi ku. Setelahnya Suga keluar bersama ponselnya.

Sinar matahari masuk ke kamar karena tirai telah terbuka. Ku dengar suara percakapan di luar kamar. Termasuk suara Sora. Jam didinding menunjuk waktu 9:01. Aku terlambat. Tapi tubuh ku rasanya ngilu dan lelah.

"Ibu." Panggil Sora.

Aku berjalan perlahan kearah meja makan. Suasana begitu sepi ketika Sora menatap ke arah ku.

"Dimana ayah, Sora?"

"Di dapur, sedang memasak."

"Oppa, maaf aku terlambat. Badan ku seperti telah dipukuli orang banyak." Keluh ku sambil menuang orange jus ke dalam gelas tanpa memandang kearahnya.

"Kau mau sarapan apa?"

"Apapun yang oppa buatkan, asalkan tak berkuah."

Sora terkekeh kearah Suga. Aku tak menghiraukan mereka berdua, ku tau mereka sedang menertawakan ku. Sekitar 3 menit kemudian aku menoleh kearah dapur.

"Anyeonghaseo." Ucap ku sambil terburu-buru membungkuk.

"Aigoo, tak perlu seperti itu anak ku. Aku akan jadi ibu mu. Ayo sarapan. Duduklah."

"Nde, terima kasih." Suga dan Sora saling menahan tawa.

Pertemuan pertama ku dengan ibu Suga begitu mengesankan untuk menjadi bahan tertawaan dikemudian hari. Pria ini keterlaluan, tak ada pemberitahuan sebelumnya.

"Jadi, Sora-ya kau akan punya adik." Ibu Suga melirik kearah ku sambil tersenyum.

"Iya haelmi."

"Ingatlah apa yang haelmi pesan ya."

"Emm." Sora mengangguk mantap.

"Anak baik."

"Boram-aa, Suga sudah menghubungi ibu mu. Kami akan mengadakan pertemuan keluarga secepatnya. Apa kau setuju?" Tangan ibu Suga mengelus belakang kepala Sora yang asik mengunyah sarapannya.

"Nde?" Belum hilang kekagetan ku karena kedatangan calon mertua, sekarang aku dihantam dengan berita yang pasti akan menghebohkan di Jepang sana.

"Ibu mu senang mendengar kabar ini. Kami juga gembira, secepatnya pasti akan ada kabar baik." Senyum ibu Suga belum bisa ku beri reaksi gamblang. Aku sendiri sedang kebingungan dengan situasi ini.

Pernah kubilang bukan, jika situasi tiba-tiba berubah 360⁰ maka akan ada sesuatu yang akan terjadi. Itu yang membuat ku khawatir.

"Ibu akan pulang sekarang. Jaga baik-baik cucu-cucu ibu." Pesannya pada putra bungsunya.

"Sora-ya, haelmi pulang ya, temani ibu dan adik mu jika ayah tak dirumah, oke cantik?"

Kami mengantarkan ibu Suga sampai depan lift seperti permintaannya. Senyumnya tak pernah luntur. Suga memeluk ku kembali masuk apartemen. Sora duduk lagi di meja makan dengan tablet ditangannya.

"Ayah, aku ingin sekolah." Suga yang tengah merapikan dapur menoleh.

"Berapa umur mu?" Tanyanya mendekati Sora.

"Aku 6 tahun, bulan depan tanggal 1. Boleh ya ayah? Aku kan bosan jika setiap hari menemani ibu di rumah sakit." Rengeknya dengan alasan yang terdengar masuk akal.

Sora berlari menuju kamar ku. Menatapku yang sedang mematut diri di depan cermin dalam ruang ganti. Wajahnya seperti tak yakin.

"Apakah nona kecil kami sudah kenyang?" Tanyaku membuka percakapan.

"Sudah ibu. Emm, aku tadi sudah bicara dengan ayah dan ayah menyuruh ku meminta ijin ibu juga."

Dahi ku berkerut, "apa itu?"

"Bolehkah aku bersekolah?"

"Hah? Apa kau yakin?"

"Aku kan tak bisa selamanya ikut ibu ke rumah sakit."

"Bagaimana jika hari ini kita berdua ke taman kanak-kanak di dekat rumah sakit ibu?" Melihat wajah bersemangatnya, aku tak ingin membuatnya kecewa.

"Apa aku harus membawa tas sekolah ku?" Ujarnya sambil berlari ke kamarnya.

"Dia bersemangat." Nilai Suga sebelum meneguk es kopinya.

"Kami akan singgah di TK dekat rumah sakit. Supaya aku gampang menjemputnya." Tas sudah ku tenteng saat Sora keluar dengan dress peach dan rambut masih berantakan.

"Rambut ku seperti medusa." Kami berdua tersenyum.

Tak perlu waktu lama, kami sudah didalam mobil menuju TK yang ke maksudkan. Jangan lupakan tuan raper yang berkata sangat banyak saat mengantarkan kami hingga mobil. Bahkan Sora sampai menggelengkan kepala.

"Ingat, jika di sekolah jangan nakal, dengarkan ibu guru, jangan membantah. Belajar yang giat dan bertemanlah dengan teman-teman mu disana. Jika mereka melakukan hal buruk pada mu jangan dengarkan. Jika mereka melakukan kekerasan fisik lawanlah! Ayah yang akan menghadap kepala sekolah mu. Saat pulang mintalah guru mu menelpon ibu. Jangan pulang dengan orang asing. Jangan bicara dengan orang asing. Jadilah anak baik."

Sepanjang itulah kalimat yang dikatakan pria pucat itu dari keluar apartemen hingga dia menutup pintu mobil kami. Sora dan aku saling memandang sebelum akhirnya kami tertawa.

"Pak maaf." Supir melihat ku dari spion.

"Iya nyonya?"

"Maaf terlambat, bolehkah kami tau nama bapak?" Tanya ku yang membuatnya tertegun sedetik.

"Anda bisa memanggilku Ichiro, nyonya."

"Baiklah pak Ichiro."

"Nyonya silahkan memanggil namaku saja, maaf." Aku mengangguk.

"Baik Ichiro, mulai hari ini aku memberi mu tugas tambahan untuk menjemput dan mengantar Sora juga. Mohon bantuannya Ichiro."

Pria itu sepertinya kaget dengan kata-kata ku. Dia terlihat duduk dengan gusar. Berkali-kali dia menundukkan kepalanya sambil mengiyakan semua perintah ku.

"Tenanglah Ichiro, aku bukan ketua. Aku hanya anak tirinya." Tanganku menepuk pundaknya santai.

"Terima kasih nyonya, baru sekarang ada yang berkata lembut pada saya. Saya berjanji akan melayani nyonya, tuan Suga dan nona Sora dengan nyawa saya." Kami berdua malah tertegun dibuatnya.

"Santai saja Ichiro, tak akan sampai begitu."

Sora melepas pegangan tangannya ketika dia masuk ke kelasnya. Gurunya, Bu Ahn Min-Ju membawanya untuk perkenalan. Melihatnya menyebutkan nama dengan percaya diri dihadapan teman-temannya, aku meyakinkan diri untuk pergi dari sana.

Sebelum pergi, aku memperkenalkan Ichiro pada mereka, supaya mereka tau jika seandainya Sora harus di antar atau dijemput supir. Kami meningalkan sekolah Sora menuju rumah sakit.

"Direktur, anda ditunggu diruang rapat, segera." Sekretaris ku nona Oh memberitahuku dengan menyongsong ku langsung di tempat parkir.

Mr. Cold : Di Pacari ArtisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang